Sabtu 03 Oct 2020 13:35 WIB

Macron Sebut Islam Alami Krisis, Aktivis Muslim Mengecam

Seorang akademisi Prancis menyebut pernyataan Macron bodoh.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Teguh Firmansyah
Presiden Prancis Emmanuel Macron.
Foto: EPA-EFE/LUDOVIC MARIN
Presiden Prancis Emmanuel Macron.

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Presiden Prancis Emmanuel Macron mengumumkan rencana untuk membela nilai-nilai sekuler Prancis terhadap "radikalisme Islam". Macron menyebut bahwa Islam kini berada  dalam kondisi krisis di seluruh dunia. Pernyataan Macron sontak memicu reaksi balik dari para aktivis Muslim.

Dalam pidatonya yang telah lama ditunggu pada Jumat (2/10) waktu setempat, Macron menegaskan tidak ada konsesi yang akan dibuat dalam upaya baru untuk membuat agama keluar dari pendidikan dan sektor publik di Prancis.

Baca Juga

"Islam adalah agama yang sedang mengalami krisis di seluruh dunia saat ini, kami tidak hanya melihat ini di negara kami," katanya dilansir laman Aljazirah, Sabtu.

Dia mengumumkan bahwa pemerintah akan mengajukan RUU pada Desember untuk memperkuat undang-undang 1905 yang secara resmi memisahkan gereja dan negara di Prancis. Langkah-langkah tersebut, kata Macron, ditujukan untuk mengatasi masalah tumbuhnya radikalisasi di Prancis dan meningkatkan kemampuan negara untuk hidup bersama. "Sekularisme adalah semen dari persatuan Prancis," katanya.

Namun demikian, dia menambahkan bahwa tidak ada gunanya menstigmatisasi semua Muslim yang beriman. Undang-undang tersebut mengizinkan orang untuk menganut agama apa pun yang mereka pilih. Namun, tampilan luar dari afiliasi keagamaan akan dilarang di sekolah dan layanan publik.

Mengenakan jilbab sudah dilarang di sekolah-sekolah Prancis dan untuk pegawai negeri di tempat kerja mereka. Pidato Macron menyebabkan perdebatan di media sosial.

Seorang akademisi Prancis, Rim-Sarah Alaoune, mengatakan lewat Twitter, Presiden Macron menggambarkan Islam sebagai 'agama yang mengalami krisis di seluruh dunia saat ini. "Saya bahkan tidak tahu harus berkata apa. Pernyataan ini sangat bodoh (maaf ya) sehingga tidak memerlukan analisis lebih lanjut. Saya tidak akan menyembunyikan bahwa saya khawatir. Tidak disebutkan supremasi kulit putih meskipun kita adalah negara yang mengekspor teori rasis dan supremasi kulit putih dari 'pengganti hebat', yang digunakan oleh teroris yang melakukan pembantaian mengerikan di #Christchurch."

Iyad el-Baghdadi, penulis dan aktivis yang tinggal di Norwegia, hanya menulis di Twitter; "F *** you, @EmmanuelMacron."

Dalam pidatonya, Macron juga mengklaim sedang berusaha untuk membebaskan Islam di Prancis dari pengaruh asing dengan meningkatkan pengawasan pembiayaan masjid. Macron juga akan menetapkan bahwa akan ada pengawasan lebih dekat terhadap sekolah dan asosiasi yang secara eksklusif melayani komunitas agama.

Prancis kini tengah mengevaluasi hubungannya dengan minoritas Muslim. Bulan lalu saja, seorang anggota parlemen Prancis dari partai Macron La Republique En Marche melakukan pemogokan atas kehadiran seorang pemimpin serikat mahasiswa berjilbab di sebuah penyelidikan parlemen.

Insiden itu didahului seminggu sebelumnya oleh polemik lain, yang melibatkan seorang jurnalis Prancis yang me-retweet postingan seorang influencer Muslim muda tentang memasak dengan anggaran terbatas dengan judul "11 September", merujuk pada serangan tahun 2001 di World Trade Center di New York.

Macron berbicara hal itu satu minggu setelah seorang pria menyerang dua orang dengan pisau daging di luar bekas kantor mingguan satir Charlie Hebdo Paris, serangan yang dikutuk oleh pemerintah sebagai tindakan "terorisme Islam". Staf di Charlie Hebdo dibunuh pada Januari 2015 oleh orang-orang bersenjata yang berusaha membalas karikatur Nabi Muhammad.

Anggota komunitas Muslim di Prancis secara konsisten mengecam tindakan tersebut. Mereka menggambarkannya sebagai tindakan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement