REPUBLIKA.CO.ID, Kuatnya hasrat keilmuan Mohammad Natsir dapat dilihat pada karya-karya tulisnya, sejak usia muda. Meski tokoh kelahiran 17 Juli 1908 tersebut tidak pernah mengenyam dunia akademis perguruan tinggi.
Pada 1930-an, dalam usia sekitar 30 tahun, Natsir telah aktif menulis tentang berbagai persoalan keilmuan dan terlibat dalam perdebatan ilmiah. Melalui tulisan-tulisannya, ketika itu, tampak Natsir sudah membaca berbagai literatur tentang akidah, sejarah, ilmu kalam, tasawuf, filsafat, syariah, perbandingan agama, dan sebagainya.
Hampir dalam setiap tulisannya, Natsir mampu meramu dengan baik, sumber-sumber dari kalangan Muslim maupun karya-karya orientalis Barat. Ambillah satu contoh sebuah artikel berjudul Muhammad al-Ghazali (450-505 H, 1058-1111), yang dimuat di majalah Pedoman Masyarakat, April 1937.
Dalam artikel ini, Natsir memaparkan keagungan pemikiran dan kiprah al-Ghazali dibandingkan dengan prestasi ilmuwan-ilmuwan Barat. Kitab Maqashidul Falasifah-nya al-Ghazali, misalnya, sudah diterjemahkan Dominicus Gundisalvus ke bahasa Latin pada abad ke-12 M.