Ahad 04 Oct 2020 10:46 WIB

5 Alasan Partai Demokrat Tolak RUU Cipta Kerja Disahkan

RUU Cipta Kerja tidak memiliki nilai urgensi dan kegentingan di tengah pandemi.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Indira Rezkisari
Polisi mengenakan masker dan pakaian hazmat saat mengamankan unjuk rasa penolakan buruh terhadap
Foto: ADITYA PRADANA PUTRA/ANTARA
Polisi mengenakan masker dan pakaian hazmat saat mengamankan unjuk rasa penolakan buruh terhadap

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selain Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrat menjadi salah satu fraksi yang menolak RUU Cipta Kerja untuk disahkan menjadi undang-undang. Ada lima alasan yang melatar belakangi sikap menolak tersebut.

Pertama, RUU Cipta Kerja tidak memiliki nilai urgensi dan kegentingan di tengah pandemi Covid-19 ini. Prioritas utama negara harus diorientasikan pada upaya penanganan pandemi.

Baca Juga

"Khususnya menyelamatkan jiwa manusia, memutus rantai penyebaran Covid-19, serta memulihkan ekonomi rakyat," ujar Kepala Badan Komunikasi Strategis Partai Demokrat, Ossy Dermawan lewat keterangan tertulisnya, Ahad (4/10).

Kedua, besarnya implikasi dari perubahan sejumlah undang-undang yang ada dalam omnibus law RUU Cipta Kerja. Sehingga, pembahasannya dituntut untuk lebih cermat, teliti, dan komprehensif.

Pemerintah dan DPR dinilai tidak bijak jika memaksakan proses perumusan aturan perundang-undangan yang kompleks ini secara terburu-buru. "Apalagi masyarakat sedang sangat membutuhkan keberpihakan dari negara dan pemerintah dalam menghadapi situasi pandemi dewasa ini," ujar Ossy.

Selanjutnya, hak dan kepentingan kaum pekerja tidak boleh diabaikan. Meskipun, tujuan utama RUU ini diklaim akan membuka keran investasi dan lapangan pekerjaan di Indonesia.

Tetapi sebaliknya, RUU Cipta Kerja berpotensi meminggirkan hak dan kepentingan kelompok pekerja. Sejumlah pemangkasan aturan perizinan, penanaman modal, dan ketenagakerjaan berpotensi menjadi hambatan bagi hadirnya pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan.

Keempat, Partai Demokrat memandang RUU Cipta Kerja telah mencerminkan bergesernya semangat Pancasila. Utamanya sila keadilan sosial menuju ke arah ekonomi yang terlalu kapitalistik dan neo-liberalistik.

"Sehingga kita perlu bertanya, apakah RUU Ciptaker ini masih mengandung prinsip-prinsip keadilan sosial (social justice) tersebut," ujar Ossy.

Terakhir, RUU Cipta Kerja dinilai cacat substansi dan prosedur. Sebab, pembahasannya poin-poin krusial di dalamnya kurang transparan dan tak melibatkan lebih banyak pihak.

"Pembahasan RUU Ciptaker ini tidak banyak melibatkan elemen masyarakat, pekerja dan jaringan civil society yang akan menjaga ekosistem ekonomi dan keseimbangan relasi tripartit," ujar Ossy.

Diketahui, DPR dan pemerintah menyepakati seluruh hasil pembahasan omnibus law RUU Cipta Kerja. Kesepakatan itu diambil dalam rapat kerja pengambilan keputusan Tingkat I RUU Cipta Kerja yang diselenggarakan di Kompleks Parlemen, Senayan, Sabtu (3/10) malam.

Setelah fraksi-fraksi DPR, pemerintah, dan DPD menyampaikan pandangan, Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas mengetuk palu tanda persetujuan pengambilan keputusan Tingkat I RUU Cipta Kerja. Selanjutnya, RUU Cipta Kerja akan disahkan di rapat paripurna DPR.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement