REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga riset McKinsey menyampaikan terdapat banyak faktor yang memengaruhi pertumbuhan asuransi jiwa di negara berkembang. Meskipun, penetrasi asuransi jiwa di sana masih rendah.
"Teknologi berperan besar dalam mendorong pertumbuhan premi asuransi dari negara-negara berkembang terutama di Asia," seperti dikutip dalam laporan McKinsey, Ahad (4/10).
Terdapat tantangan baru yang lahir dalam satu dekade terakhir bagi industri asuransi jiwa di negara-negara berkembang, khususnya di Asia, yakni ketidakpastian imbal hasil bagi shareholders. McKinsey mencatat terdapat volatilitas imbal hasil di pasar Asia Pasifik.
McKinsey mengukur tingkat imbal hasil bagi shareholders di Asia Pasifik menurun setelah 2010. Kemudian baru kembali mencapai titik yang sama pada pada 2015 dan sempat menurun lagi. Setelah itu, pertumbuhan imbal hasil baru terlihat jelas sejak 2017, tetapi terancam kembali anjlok pada 2020 akibat pandemi virus corona.
Rendahnya imbal hasil bagi shareholders dinilai terjadi salah satunya karena perusahaan asuransi jiwa tidak mendapatkan keuntungan dari bull market, akibat suku bunga yang tertekan secara global. Selain itu, penetrasi asuransi secara global yang turun menjadi tiga persen pun menjadi tantangan besar bagi industri di negara berkembang.
"Baru-baru ini pandemi Covid-19 menekan tingkat suku bunga global, bahkan lebih rendah daripada yang terlihat saat krisis keuangan global 2007–2008, yang menyebabkan dampak tidak proporsional pada saham asuransi jiwa dibandingkan dengan pasar lainnya," tertulis dalam laporan tersebut.
Lembaga riset tersebut menilai industri asuransi jiwa memiliki sejumlah peluang yang menjanjikan dalam dekade mendatang. Salah satunya karena permintaan asuransi secara global mencapai titik tertingginya sepanjang masa. Adanya pandemi Covid-19 membuat masyarakat dunia memerlukan perlindungan jiwa dan kesehatan.