REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum bidang tindak pidana pencucian uang (TPPU), Yenti Garnasih menilai Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan (RUU Kejaksaan) dapat meringankan kontrol terhadap penyalahgunaan (abuse) wewenang jaksa.
Sebab, gunanya pemisahan antara penyelidik, penyidik dan penuntut umum dalam undang-undang adalah untuk memperkuat pengawasan (kontrol) apabila terjadi penyalahgunaan wewenang lembaga penegak hukum terhadap orang yang diperiksa. "Padahal, filosofi awal untuk kontrol, yang mana (wewenang lembaga penegak hukum dipisahkan) masing-masing, supaya bagus. Agar tidak abuse terhadap orang yang diperiksa. Abuse itu bukan hanya memperberat, tapi juga jangan-jangan memperingan," ujar Yenti dalam pernyataan tertulis kepada wartawan di Jakarta, Ahad (5/10).
Ketentuan agar jaksa dapat berfungsi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, mengingatkan Yenti pada kejadian sewaktu Pemerintah dan DPR memberikan wewenang tersebut kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Undang-Undang KPK. Sebetulnya sudah bagus, kata dia lagi, apabila tugas penyelidikan dan penyidikan tetap terpisah, misalnya di kepolisian. Tapi, boleh berkas perkaranya ada di jaksa, karena dia sebagai penuntut umum.
"Itu sudah cukup ya, artinya tidak usah serakah-serakah. Dia sudah mutlak penuntut umum, cuma dikurangi oleh penuntut di KPK,” ujarnya.
Yenti pun mempertanyakan apakah RUU Kejaksaan juga mau memasukkan wewenang yang semula ada di kepolisian kepada kejaksaan, sehingga kelak penuntut umum juga bisa bertugas menyelidiki dan menyidik suatu perkara. Kalau demikian, maka pengawasannya harus diatur, bagaimana mekanismenya kalau penyelidik, penyidik, dan jaksa penuntut di dalam satu atap.
Dalam Pasal 1 ayat (1) RUU Kejaksaan disebutkan bahwa jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh UU untuk bertindak dalam fungsi penyelidikan dan penyidikan, penuntutan, pelaksana putusan pengadilan, pemberian jasa hukum, penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dan pengacara negara serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.
Yenti menyarankan agar fungsinya dikembalikan lagi ke masing-masing penegak hukum sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sebab kejaksaan adalah dominus litis yakni sebagai penuntut umum mutlak dalam KUHAP. Yenti mengatakan Pemerintah dan DPR RI sebaiknya menunda dulu pembahasan RUU Kejaksaan sampai KUHAP yang baru disahkan.
"Harusnya RKUHAP dijadikan dulu, disahkan dulu, baru RUU Kejaksaan. Karena apa pun nanti keputusan RUU Kejaksaan menjadi UU Kejaksaan, itu kalau sampai bertentangan dengan KUHAP yang baru juga masalah. Sekarang saja, dikhawatirkan bertentangan dengan KUHAP," jelasnya.