REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua MPR Syarief Hasan menyarankan pemerintah harus mendengarkan aspirasi rakyat soal RUU Cipta Kerja. Sebab, keterlibatan rakyat dalam setiap kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang akan diterbitkan diperlukan karena pemerintah ditugaskan untuk bekerja kepada rakyat.
"Pemerintah dan DPR RI tidak boleh memanfaatkan situasi pandemi ini untuk mengesahkan UU yang tidak diinginkan karena merugikan rakyat," kata Syarief Hasan di Jakarta, Ahad (4/10).
Banyaknya penolakan dan demo yang dilakukan masyarakat menunjukkan RUU Cipta Kerja itu harus lebih mewadahi aspirasi rakyat. "Pemerintah dan DPR tidak boleh memanfaatkan situasi pandemi ini untuk mengesahkan UU yang tidak diinginkan karena merugikan rakyat," katanya di Jakarta.
Syarief Hasan mengatakan pemerintah seharusnya hadir untuk memberikan teladan dan pelayanan perlindungan terbaik bagi rakyat. "Bukan semakin mempersulit rakyat dan keberpihakan kepada pengusaha yang melanggar hukum, dan yang merusak lingkungan, bahkan keberpihakan kepada tenaga kerja asing lewat RUU Cipta Kerja yang dibahas di tengah pandemi Covid-19," katanya.
Apalagi, kata dia, Bank Dunia dalam laporan berjudul Indonesia Economic Prospects : The Long Road to Recovery pada Rabu 29 Juli 2020 juga menyoroti tiga poin RUU Cipta Kerja. Tiga poin itu adalah klausul mengenai ketenagakerjaan, perizinan, dan lingkungan. "Revisi terhadap UU Cipta Kerja Omnibus Law memiliki potensi mengurangi perlindungan yang diberikan terhadap pekerja," kata Hasan, mengutip salah satu isi laporan Bank Dunia itu.
Ketua Badan Legislasi DPR, Supratman Andi Agtas, dalam rapat panitia kerja RUU Cipta Kerja di Jakarta, Sabtu (26/9), mengatakan, penggunaan tenaga kerja asing akan tetap sesuai dengan ketentuan UU Ketenagakerjaan namun ada penambahan terkait klaster keimigrasian dalam RUU Ciptaker.
Aturan itu, menurutnya, dibuat agar calon investor dan orang yang akan menjadi pengurus perusahaan dalam posisinya sebagai komisaris maupun direksi, wajib mengikuti aturan ketentuan yang telah diputuskan dalam UU Keimigrasian. Namun,Hasan menilai aturan yang terdapat dalam RUU Omnibus Law itu akan membuat penggunaan TKA semakin besar.
Selain itu, menurut anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat itu, RUU Cipta Kerja akan semakin mempermudah perusahaan melakukan PHK, pasalnya sanksi terhadap perusahaan yang melanggar aturan RUU Omnibus Law itu hanya bersifat hukum administratif.
Namun, pada rapat Panitia Kerja RUU Cipta Kerja pada Sabtu (26/9), pemerintah, DPR, dan DPD sepakat agar sanksi pidana dalam RUU Cipta Kerja tetap seperti ketentuan UU yang telah ada (UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan). Dalam UU Ketenagakerjaan, sanksi pidana diatur dalam pasal 183 hingga pasal 189, sementara Daftar Inventarisasi Masalah terkait perubahan ketentuan tersebut disepakati agar dihapuskan semua dari RUU Cipta Kerja.