REPUBLIKA.CO.ID, Karen Armstrong dalam bukunya, Muhammad: A Biography of the Prophet, mengungkap bagaimana sejarah kebencian kaum Kristen Barat terhadap Muhammad SAW yang berurat berakar dalam sejarah.
Dalam legenda-legenda di zaman pertengahan di Barat, Muhammad digambarkan sebagai tukang sihir, penderita penyakit epilepsi (ayan), seorang yang dikuasai roh jahat, dan penipu berdarah dingin. Kehidupan seksnya digambarkan penuh birahi.
Tokoh-tokoh Kristen Barat ketika itu berusaha menciptakan legenda bahwa Islam adalah pecahan Kristen. Konon, ada seorang ’heretic’ (Kristen yang me nyimpang) bernama Sergius yang bertemu Muhammad dan mengajarkan versi Kristen yang menyimpang.
Karen Armstrong menyebut sikap Barat terhadap Islam yang tidak sehat sebagai schizophrenic dan Islamophile. Paus Clement V (1305-1314) menyebut kehadiran Islam di wilayah Kristen sebagai suatu penghinaan terhadap Tuhan.
Pada Abad Ppertengahan, banyak orang Kristen Barat masih menganggap bahwa kaum Muslim adalah penyembah Muhammad sebagaimana kaum Kristen menyembah Kristus. Dalam karyanya, History of Charlemagne, Pseudo-Turpin menggambarkan kaum muslim (Saracen) sebagai penyembah Dewa Ma homet, Apollo, dan Tervagant.
Pada abad ke-12, Peter the Venerable dari biara Cluny, mulai melakukan kajian yang lebih serius tentang Islam. Peter membentuk tim penerjemah yang menerjemahkan buku-buku Islam ke dalam bahasa Latin.
Proyek terjemahan Alquran dalam bahasa Latin pertama selesai 1143 di bawah koordinasi Robert of Ketton. Peter terkenal dengan semboyannya agar dalam menghadapi kaum Muslim, jangan menggunakan kekerasan, senjata, atau kebencian.
Tetapi, gunakanlah logika, kata-kata, dan kasih. Tetapi, orang seperti Peter the Venerable pun, menurut Armstrong juga mengidap mentalitas schizophrenic yang anti-Islam.
Ketika Raja Louis VII dari Peran cis memimpin Perang Salib II tahun 1147, Peter mengirim surat yang meminta Louis membunuh sebanyak mungkin kaum Muslim sebagaimana Moses dan Joshua membunuh kaum Amorit dan Kanaan.
Di era modern, rasa dengki dan permusuhan terhadap Nabi Muhammad SAW pun tak pernah pupus. Masih segar dalam ingatan Muslim sedunia, pada edisi 30 September 2005 lalu, koran Jyllands- Posten, Denmark, memuat 12 gambar kartun yang sangat menghina dan melecehkan Nabi Muhammad SAW.
Dalam satu kartu digambarkan Nabi tampil dalam sorban yang bentuknya mirip bom yang dipasang pada bagian kepalanya. Tentu, maksud si pembuat kartun berusaha menggambarkan Nabi terakhir itu sebagai sosok teroris. Pada kartun lain, Nabi SAW digambarkan sedang berteriak kepada sejumlah orang, “Berhenti, kita sudah kehabisan perawan!”
Beberapa waktu sebelumnya, Ratu Denmark, Margrethe II, juga sudah mengumumkan perang terhadap Islam. Kata Sang Ratu: “Selama beberapa tahun terakhir ini, kita terus ditantang Islam, baik secara lokal maupun global. Ini adalah sebuah tantangan yang harus kita tangani dengan serius. Selama ini kita terlalu lama mengambangkan masalah ini karena kita terlalu toleran dan malas …. Kita harus menunjukkan perlawanan kita kepada Islam dan pada saatnya, kita juga harus siap menanggung risiko mendapat sebutan yang tidak mengenakkan, karena kita tidak menunjukkan sikap toleran.” (Biografi Ratu Margrethe II, April 2003, dikutip dari Republika, 7/2/2006).
Konsili Vatikan II, 1962-1965, men jadi tonggak baru bagi Gereja Katolik dalam pendekatan terhadap agama-agama lain, termasuk kepada umat Islam. Doktrin ‘Nostra Aetate’ memuat kata-kata simpatik terhadap umat Islam dan mengajak kaum Muslim melupakan konflik-konflik masa lalu. Tetapi, secara teologis, tokoh Gereja Katolik tetap menegaskan perbedaan mendasar antara Islam dan Kristen.
Paus Benediktus XVI, yang mundur pada 2013, misalnya, dikenal tegas dan lugas pandangannya terhadap Islam. Dalam buku The Rule of Benedict XVI (New York: HarperCollins Publisher, 2006) karya David Gibson, disebutkan bahwa Paus Benediktus, yang ketika itu masih sebagai Kardinal Ratzinger, membuat pernyataan bahwa Turki harus dicegah masuk Uni Eropa karena Turki lebih mewakili kultur Islam ketimbang kultur Kristen; juga karena sejarahnya yang penuh konflik dengan Eropa. Paus Bene diktus ini dikenal sebagai sosok yang ingin mengembalikan identitas kekristenan Eropa.
*Naskah cuplikan dari artikel Dr Adian Husaini yang tayang di Harian Republika 2014.