REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR Benny K Harman menganggap, Polri terlalu berlebihan dalam menyikapi masyarakat yang menolak Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker). Benny menilai, atas dasar itu, Benny tak sepakat jika Polri berlebihan mengekang masyarakat penolak UU Ciptaker. "Penolakan (masyarakat) itu biasa, kenapa dilarang (oleh Polri," kata Benny pada Republika, Senin (5/10).
Benny mengingatkan, bahwa penyampaian pendapat ialah hak masyarakat yang diatur dalam Undang-Undang Dasar. Berarti dasar hukumnya lebih tinggi dari UU Ciptaker yang baru seumur jagung disahkan.
"Terlalu berlebihan, over reaktif. Polri harus hargai hak menyatakan pendapat dan hak berserikat dari para pekerja dan warga yang menolak RUU tersebut," ujar politisi asal Partai Demokrat tersebut.
Diketahui, Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis menerbitkan Surat Telegram Kapolri Nomor: STR/645/X/PAM.3.2./2020 bertanggal 2 Oktober 2020. Isinya soal antisipasi kepolisian atas unjuk rasa dan pemantauan situasi berpotensi konflik dalam rangkaian pengesahan Rancangan UU Ciptaker.
Ada 12 poin yang diatur dalam surat itu. Beberapa di antaranya seperti pengerahan fungsi intelijen dan deteksi dini terhadap elemen buruh dan masyarakat yang berencana berdemonstrasi dan mogok nasional; melakukan patroli siber pada media sosial dan manajemen media untuk bangun opini publik yang tidak setuju dengan unjuk rasa di tengah pandemi; serta tidak memberikan izin kepada pengunjuk rasa untuk berdemonstrasi maupun keramaian lainnya.
Poin lainnya menginstruksikan perihal melakukan kontra narasi isu-isu yang mendiskreditkan pemerintah. Surat telegram itu diklaim demi menjaga kondusifitas situasi keamanan dan ketertiban masyarakat di saat pandemi.