REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dikisahkan, bahwa dalam suatu peperangan, Rasulullah SAW sangat lelah, sehingga beliau terduduk di bawah sebatang pohon tanpa sebilah senjata pun. Pada saat itu, salah seorang tentara musuh yang sangat ditakuti, tiba-tiba muncul di hadapannya, berdiri berkacak pinggang pada saat beliau terkantuk-kantuk.
Dan dengan suara lantang, seorang yang dikenal bernama Da’tsur itu menghardik beliau dengan mengacungkan sebilah pedangnya, seraya berkata: “Hai Muhammad. Siapa –saat ini– yang dapat menyelamatkanmu dari keganasan pedangku?”
Mendengar gertakan Da’tsur itu, beliau tersentak sekejap, lalu menatap mata Da’tsur dengan pandangan mata yang sama sekali tak mengesankan ada rasa gentar. Da’tsur pun tergetar melihat pandangan mata beliau yang sejuk dan tak mengesankan ketakutan.
Beliau menjawab gertakan Da’tsur dengan sikap tenang, disertai ucapan lembut: “Karena –sebagai manusia– aku sudah tidak punya daya, tiada lagi yang akan melindungi diriku kecuali Allah?”
Mendengar jawaban Rasulullah SAW itu, Da’tsur serta-merta menggigil dan gentar. Seraya berpikir, seperti apakah kekuatan Allah yang disebut-sebut Muhammad itu sehingga beliau yakin bahwa Allah pasti akan melindunginya? Kebimbangannya itu kian bertambah ketika menyaksikan beliau tetap tabah, sampai akhirnya pedang Da’tsur pun terlepas dari genggamannya, dan jatuh di hadapan beliau.
Pada saat itulah Rasulullah SAW segera mengambil pedang itu, lalu mengacungkannya kepada Da’tsur, seraya berkata: “Nah, kini siapakah yang akan menyelamatkanmu dari pedangku, hai Da’tsur?” Dengan bibir bergetar Da’tsur menjawab: “Hanya engkau Muhammad yang dapat menyelamatkanku. Sungguh, hanya engkau belaka.”
Mendengar jawaban Da’tsur itu, beliau yang sama sekali tidak menyimpan kebencian dan dendam, segera menyerahkan pedang itu kembali pada Da’tsur sebagai pemiliknya. Dan, akhirnya, dia (Da’tsur) pun menyatakan keislamannya di hadapan Rasulullah.
Da’tsur memang sudah tiada, dan peristiwa itu sudah lama berlalu, tetapi pelajaran yang bisa kita petik dari peristiwa itu cukup banyak. Antara lain mengisyaratkan kepiawaian seorang mubaligh dalam berkomunikasi dan mengomunikasikan ide-idenya kepada siapa pun, kapan pun, dan di mana pun sangat menentukan keberhasilannya dalam berdakwah.
Kini, saatnya kita belajar pada Muhammad SAW, sang mubaligh yang telah menghasilkan maha karyanya dalam berdakwah, untuk dakwah kita, kini dan esok. Ibda’ bi nafsik!
----
Muhsin Hariyanto | Dosen tetap Fakultas Agama Islam UMY
https://www.suaramuhammadiyah.id/2020/10/01/muhammad-sang-muballigh/