REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Imam Besar Al-Azhar Ahmed Al-Tayyeb mengecam pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron yang menyatakan perang melawan separatisme. El-Tayyeb memperingatkan dampak pernyataannya itu dapat mengakibatkan perilaku tidak beradab terhadap Islam, membangun budaya kebencian dan rasialisme, serta melahirkan terorisme.
El-Tayyeb juga mengutuk apa yang disampaikan Marcon dalam pidatonya sebagai pernyataan tidak bertanggung jawab, yang dibuat baru-baru ini tentang Islam. Kecaman El-Tayyeb ini telah diunggah di halaman Facebook dalam bahasa Arab, Inggris, dan Prancis.
Dalam pidatonya yang kontroversial minggu lalu, Macron mengumumkan Prancis telah menerapkan strategi untuk berperang melawan separatisme di negerinya. Macron juga berencana mengajukan rancangan undang-undang (RUU) ke parlemen Prancis pada awal tahun nanti untuk mengatasi masalah separatisme tersebut.
Menurut El-Tayyeb, pernyataan itu dibuat untuk mendapatkan keuntungan politik dengan mengkambinghitamkan agama Islam. Karenanya, El-Tayyeb memperingatkan dampak dari pernyataan Macron tersebut dapat membangun budaya kebencian dan rasialisme serta melahirkan terorisme.
Dalam RUU tersebut, akan ada kontrol yang lebih ketat atas pendanaan untuk masjid-masjid di Prancis. Macron juga akan membatasi sekolah di rumah untuk mencegah anak-anak diindoktrinasi di sekolah yang tidak terdaftar yang menyimpang dari kurikulum nasional.
RUU tersebut juga melarang imam dari negara Turki, Maroko, dan Aljazair melatih ulama Prancis kelompok Ikhwanul Muslimin. Menurut Macron, para imam akan dilatih di Prancis sehingga mereka bisa belajar bahasa dan hukum negaranya.
"Ada krisis Islam di mana-mana, yang dirusak oleh bentuk-bentuk radikal. Masalah muncul ketika ideologi mereka mengklaim hukumnya sendiri harus lebih tinggi dari hukum republik," kata Macron.
Macron menambahkan, dia berusaha membangun Islam yang tercerahkan di Eropa. Dalam sebuah pernyataan pada Sabtu, Akademi Riset Islam Al-Azhar, yang bekerja untuk mereformasi budaya Islam dan menjaganya dari intoleransi politik dan ideologis, mengatakan Macron telah mengarahkan tuduhan palsu yang tidak ada hubungannya dengan konteks agama yang sebenarnya.