REPUBLIKA.CO.ID, oleh Haura Hafizhah, Rizky Suryarandika, Antara
Sebanyak dua juta buruh dari seluruh Indonesia berencana melakukan mogok kerja nasional. Jutaan buruh tersebut akan mulai mogok kerja dari hari ini (6/10) sampai Kamis (8/10) sebagai bentuk penolakan bagi UU Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker).
"Jadi, hari ini dilakukan mogok nasional sampai (8/10), lebih dari dua juta buruh dari seluruh Indonesia melakukan mogok ini. Mereka mogok di masing-masing tempat kerja," kata Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK) Mirah Sumirat daat dihubungi Republika.co.id, Selasa (6/10).
Kemudian, ia melanjutkan mogok nasional ini dimulai dari pukul 06.00 WIB sampai 17.00 WIB. Hal ini dilakukan untuk menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja yang sudah disahkan. "Para buruh akan menyuarakan pendapatnya yang menolak hal tersebut," kata dia.
Sementara itu, Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan mogok nasional ini dilakukan sesuai dengan UU No 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan UU No 21 Tahun 2000 khususnya Pasal 4 yang menyebutkan, fungsi serikat pekerja salah satunya adalah merencanakan dan melaksanakan pemogokan. “Selain itu, dasar hukum mogok nasional yang akan kami lakukan adalah UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik,” katanya.
Lebih lanjut dia menjelaskan, mogok nasional ini akan diikuti buruh dari sektor industi seperti kimia, energi, pertambangan, tekstil, garmen, sepatu, otomotif dan komponen, elektronik dan komponen, industri besi dan baja, farmasi dan kesehatan, percetakan dan penerbitan, industri pariwisata, industri semen, telekomunikasi, pekerja transportasi, pekerja pelabuhan, logistik, perbankan, dan lain-lain.
Adapun sebaran wilayah dua juta buruh yang akan ikut mogok nasional antara lain Jakarta, Bogor, Depok, Tengerang Raya, Serang, Cilegon, Bekasi, Karawang, Purwakarta, Subang, Cirebon, Bandung Raya, Semarang, Kendal, Jepara, Yogyakarta, Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Mojokerto dan Pasuruan. Berikutnya adalah Aceh, Padang, Solok, Medan, Deli Serdang, Sedang Bedagai, Batam, Bintan, Karimun, Muko-Muko, Bengkulu, Pekanbaru, Palembang, Bandar Lampung dan Lampung Selatan.
Selain itu, mogok nasional juga akan dilakukan di Banjarmasin, Palangkaraya, Samarinda, Mataram, Lombok, Ambon, Makasar, Gorontalo, Manadao, Bitung, Kendari, Morowali, Papua dan Papua Barat.
“Jadi provinsi-provinsi yang akan melakukan mogok nasional adalah Jawa Barat, Jakarta, Banten, Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Kepulauan Riau, Sumatra Barat, Bengkulu, Riau, Lampung, NTB, Maluku, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tenggara, Papua, dan Papua Barat,” kata dia.
Dalam aksi mogok nasional nanti, buruh akan menyuarakan tolak omnibus law RUU Cipta Kerja, antara lain tetap ada UMK tanpa syarat dan UMSK jangan hilang, nilai pesangon tidak berkurang, tidak boleh ada PKWT atau karyawan kontrak seumur hidup, tidak boleh ada outsourcing seumur hidup, waktu kerja tidak boleh eksploitatif, cuti dan hak upah atas cuti tidak boleh hilang, karyawan kontrak dan outsourcing harus mendapat jaminan kesehatan dan pensiun.
“Sementara itu, terkait dengan PHK, sanksi pidana kepada pengusaha, dan TKA harus tetap sesuai dengan isi UU No 13 Tahun 2003,” tegasnya.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) memantau aksi unjuk rasa yang akan dijegal aparat kepolisian. Hal ini terjadi pasca keluarnya Surat Telegram Kapolri Nomor: STR/645/X/PAM.3.2./2020 tertanggal 2 Oktober 2020.
"Dari pantauan kami, ada banyak penjegalan aksi di berbagai daerah," kata Direktur YLBHI Asfinawati. Oleh karena itu, dibentuklah Tim Advokasi untuk Demokrasi karena ancaman kriminalisasi terhadap peserta aksi terbuka lebar.
Asfinawati menekankan aksi yang dilakukan rakyat sebenarnya bentuk ekspresi kemarahan atas pengesahan UU Ciptaker. "Rakyat terpaksa unjuk rasa karena pemerintah dan DPR tidak mendengarkan keluhannya," ujar Asfinawati.
Asfinawati mengingatkan Polri adalah alat negara bukan alat pemerintah. Selain itu Kepolisian dalam tugasnya menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.
"Kami mendesak Presiden sebagai pimpinan langsung Kapolri untuk tidak mengganggu netralitas serta indenpendensi yang seharusnya diterapkan Polri. Kami juga meminta Presiden dan Kapolri menghormati UUD 1945 & amandemennya serta UU 9/1998 yang menjamin hak setiap orang untuk menyampaikan aspirasinya termasuk pendapat di muka umum," ucapnya.
Diketahui, Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis menerbitkan Surat Telegram Kapolri Nomor: STR/645/X/PAM.3.2./2020 bertanggal 2 Oktober 2020. Isinya soal antisipasi kepolisian atas unjuk rasa dan pemantauan situasi berpotensi konflik dalam rangkaian pengesahan Rancangan UU Ciptaker.
Ada 12 poin yang diatur dalam surat itu, beberapa di antaranya seperti pengerahan fungsi intelijen dan deteksi dini terhadap elemen buruh dan masyarakat yang berencana berdemonstrasi dan mogok nasional; melakukan patroli siber pada media sosial dan manajemen media untuk bangun opini publik yang tidak setuju dengan unjuk rasa di tengah pandemi; serta tidak memberikan izin kepada pengunjuk rasa untuk berdemonstrasi maupun keramaian lainnya.
Poin lainnya menginstruksikan perihal melakukan kontra narasi isu-isu yang mendiskreditkan pemerintah. Surat telegram itu diklaim demi menjaga kondusifitas situasi keamanan dan ketertiban masyarakat di saat pandemi.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ahmad Taufan Damanik mengkritisi Polri yang terlalu berlebihan dalam menyikapi masyarakat penolak UU Ciptaker. Taufan menyatakan berbedaan pendapat masyarakat dalam menyikapi suatu regulasi merupakan hal yang wajar. Oleh karena itu, Taufan menolak kalau Polri berlebihan mencegah aksi masyarakat penolak UU Ciptaker. Apalagi hak menyatakan pendapat diatur dalam UUD 1945.
"Ya (Polri) berlebihan. Aksi unjuk rasa, menyatakan pendapat adalah hak setiap orang," kata Taufan.
Pada prinsipnya, Komnas HAM tak menganjurkan masyarakat menghentikan unjuk rasa di masa pandemi Covid-19. Namun Taufan mengimbau pengunjuk rasa menaati protokol kesehatan.
Di sisi lain, Taufan menyoroti pengesahan UU Ciptaker yang dianggap minim partisipasi publik. UU itu disebut lahir hanya dari proses politik dan lobi-lobi tanpa mendengarkan aspirasi publik.
"Kita sesungguhnya menyesalkan DPR dan pemerintah yang tetap kukuh mengetuk palu pengesahan UU Cipta Kerja yang semestinya membuka ruang partisipasi masyarakat seluas-luasnya," tegas Taufan.
Pengamat Politik Karyono Wibowo memandang fenomena ketidakpuasan dalam pembahasan UU Cipta Kerja adalah hal biasa sebagaimana sering terjadi dalam pembahasan RUU lain. Dalam pembahasan RUU acapkali menimbulkan konflik dari para pihak yang berkepentingan.
Karyono memantau ketidakpuasan kalangan buruh tidak hanya diekspresikan pada pembahasan RUU Cipta Kerja. Ketidakpuasan yang berujung pada aksi penolakan juga terjadi dalam pembahasan RUU maupun kebijakan dalam pelbagai regulasi yang menyangkut nasib kaum buruh.
"Tentu saja, perjuangan serikat buruh sebagai pihak yang berkepentingan pasti memperjuangkan hak hak buruh. Sementara pemerintah bersama DPR sebagai regulator memiliki kepentingan membuat aturan yang diselaraskan dengan program pembangunan nasional seperti meningkatkan investasi, dan sebagainya," kata Karyono.
Sedangkan peran lanjutan pemerintah, tambah Karyono menyiapkan arah untuk menyeimbangkan penyelenggaraan pembangunan melalui penerbitan peraturan-peraturan. Kemudian pengusaha membutuhkan kepastian hukum demi terciptanya iklim usaha yang kondusif dan sustainable.
"Maka kata kuncinya adalah muswarah untuk mencapai mufakat. Mencari jalan tengah untuk mencapai kompromi. Jika tidak, maka yang terjadi pasti konflik. Konflik tersebut terjadi ketika seseorang atau kelompok mencoba memaksakan keinginannya satu terhadap yang lain," ujar Karyono.
Rapat Paripurna DPR RI, Senin (5/10), menyetujui UU Ciptaker. Fraksi Partai Demokrat DPR RI memutuskan keluar (walk out) dari Rapat Paripurna DPR RI saat agenda pengesahan RUU Cipta Kerja.
"Kalau begitu, Demokrat menyatakan walk out dan tidak bertanggung jawab (atas persetujuan RUU Ciptaker menjadi UU)," kata anggota Fraksi Partai Demokrat Benny K Harman dalam rapat paripurna di kompleks DPR RI.