REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penggunaan masker kini ditetapkan sebagai protokol kesehatan yang harus dipatuhi secara global terkait pandemi Covid-19. Namun, pemakaian masker sering dikeluhkan karena membuat tidak nyaman saat bernapas.
Hal ini kemudian dikaitkan dengan pemakaian masker yang mengakibatkan seseorang bisa kekurangan oksigen. Benarkan demikian?
Rupanya, ketidaknyamanan saat memakai masker bukan diakibatkan tingkat oksigen yang berkurang. Pemakaian masker tidak membatasi aliran oksigen ke paru-paru, bahkan pada orang dengan penyakit paru-paru yang parah sekalipun.
Dilansir laman Reuters, Selasa (6/10), sebuah penelitian menguji efek memakai masker bedah pada pertukaran gas, proses di mana tubuh menambahkan oksigen ke darah sambil mengeluarkan karbon dioksida. Uji coba dilakukan pada 15 dokter sehat dan 15 veteran militer dengan paru-paru yang rusak parah melalui jalan cepat enam menit di atas permukaan datar dan keras.
"Kadar oksigen dan karbon dioksida dalam darah diukur sebelum dan sesudah tes jalan kaki," tulis laporan.
Baik dokter yang sehat maupun pasien dengan penyakit paru-paru tidak menunjukkan perubahan besar dalam pengukuran pertukaran gas setelah tes berjalan atau hingga 30 menit kemudian. Berdasarkan penelitian tersebut, ketidaknyamanan masker kemungkinan besar bukan karena penghirupan ulang karbon dioksida dan penurunan kadar oksigen.
Penelitian yang diterbitkan di jurnal Thorax itu menyebutkan, masker dapat menyebabkan ketidaknyamanan saat memakainya hingga bernapas karena mengiritasi saraf wajah yang sensitif. Kemudian, rasa tidak nyaman saat bernapas juga muncul karena ada udara hangat yang dihirup, serta memicu perasaan claustrophobia.
"Ketidaknyamanan seperti itu seharusnya tidak menimbulkan masalah keamanan, karena hal itu dapat berkontribusi pada pengurangan praktik yang terbukti meningkatkan kesehatan masyarakat," kata peneliti.