REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Mantan duta besar Arab Saudi untuk Amerika Serikat Pangeran Bandar bin Sultan mengecam tindakan para pemimpin Palestina yang menolak normalisasi hubungan Uni Emirat Arab dengan Israel. Menurutnya, sikap yang diambil para pemimpin Palestina sangat menyakitkan.
Apa yang dilakukan oleh kepemimpinan Palestina ini, dianggapnya sebagai sebuah kegagalan karena menentang perjanjian normalisasi UEA-Bahrain-Israel. Bandar bin Sultan pernah menjabat sebagai duta besar untuk AS dari 1983 hingga 2005.
Ia memang terkenal karena ikut campur dalam perdebatan sengit mengenai normalisasi negara-negara Teluk dengan Israel. Perjanjian antara Israel dan UEA sendiri secara luas dianggap sebagai pengkhianatan terhadap perjuangan rakyat Palestina.
Pendukung Abu Dhabi nampaknya telah memiliki keputusan bulat dengan membela langkah kontroversial tersebut. Salah satunya adalah Bandar bin Sultan yang langsung membidik kepemimpinan Palestina setelah mengungkapkan kekecewaan mereka terhadap negara-negara Arab karena membangun hubungan diplomatik dengan Israel.
"Pelanggaran mereka terhadap kepemimpinan negara-negara Teluk dengan wacana tercela ini tidak dapat diterima. Perjuangan Palestina adalah penyebab yang adil tetapi pendukungnya gagal," kata Bandar bin Sultan dilansir dari Al Araby, Selasa (6/10).
Bin Sultan juga menyebut wacana yang dilakukan kepemimpinan Palestina tentang hubungan normalisasi negara-negara teluk dengan Israel sangat menyakitkan untuk didengar. "Tidak mengherankan jika mereka menggunakan istilah seperti 'pengkhianatan' dan 'menusuk dari belakang' karena ini cara mereka dalam menghadapi satu sama lain," katanya.
Bandar bin Sultan juga menjabat sebagai sekretaris jenderal Dewan Keamanan Nasional Saudi, dan direktur jenderal Badan Intelijen Saudi dari 2012 hingga 2014. Pangeran berusia 71 tahun itu juga mengepalai inisiatif perdamaian Saudi-Israel setelah perang Gaza 2014, namun ditolak.
Kepemimpinan Saudi sendiri nampak tidak melakukan perjanjian normalisasi dengan Israel. Namun para analis menduga Arab Saudi, di bawah kepemimpinan de facto Mohammed bin Salman, memainkan peran kunci dalam mengatur dan mendorong UEA dan Bahrain untuk menjalin hubungan dengan Israel.
Meskipun memiliki hubungan di bawah meja yang luas dengan Israel, Arab Saudi tidak mungkin menandatangani perjanjian serupa saat Raja Salman masih di atas takhta. Para kritikus menyebut perjanjian normalisasi sebagai latihan hubungan masyarakat untuk Presiden AS Donald Trump, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, dan para pemimpin negara-negara Teluk yang membantu melanggengkan pendudukan Israel di Tepi Barat dan pengepungan Gaza.
Meskipun Emirat mengklaim perjanjian tersebut telah menangguhkan rencana Israel untuk mencaplok sebagian besar wilayah Palestina di Tepi Barat, Netanyahu dengan tegas membantah hal tersebut. Bagi Israel, Yerusalem tetaplah kawasan pendudukannya ada atau tanpa perjanjian normalisasi.