REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febrianto Adi Saputro, Nawir Arsyad Akbar, Arif Satrio Nugroho
Setelah rampung mengesahkan omnibus law RUU Cipta Kerja (Ciptaker) menjadi undang-undang, DPR langsung memasuki masa reses hingga 8 November mendatang. Ketua DPR Puan Maharani pada Senin (5/10) malam resmi menutup masa persidangan I Tahun Sidang 2020-2021.
"Atas nama Pimpinan DPR, saya mengumumkan kepada seluruh rakyat Indonesia, mulai tanggal 6 Oktober 2020 sampai dengan tanggal 8 November 2020 DPR memasuki Masa Reses Masa Persidangan I Tahun Sidang 2020-2021," kata Puan dalam pidatonya, Senin (5/10) malam.
Politikus PDI Perjuangan itu mengatakan pada massa persidangan I kali ini DPR telah menyelesaikan sejumlah undang-undang seperti Undang-undang tentang Bea Materai, Undang Undang tentang Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Swedia tentang Kerja Sama dalam Bidang Pertahanan (Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the the Government of the Kingdom of Sweden Concerning Cooperation in the Field of Defence), RUU tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Kemudian, Undang Undang tentang Protokol Untuk Melaksanakan Komitmen Paket Ketujuh Dalam Persetujuan Kerangka Kerja ASEAN di Bidang Jasa Keuangan (Protocol to Implement the Seventh Package of Commitment on Financial Service Under the ASEAN Framework Agreement on Services /AFAS), dan terakhir RUU tentang Cipta Kerja.
"DPR melalui fungsi pengawasan akan terus mengevaluasi saat UU tersebut dilaksanakan dan akan memastikan bahwa Undang Undang tersebut dilaksanakan untuk kepentingan nasional dan kepentingan rakyat Indonesia," ujarnya.
Sementara itu di bidang pengawasan, DPR dan Pemerintah telah menyetujui RUU tentang Pertanggungjawaban Atas Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2019, yang dalam pelaksanaannya telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Selain itu, DPR dan Pemerintah juga telah menyetujui RUU tentang APBN Tahun Anggaran 2021.
Puan mengatakan, APBN tahun anggaran 2021, memberikan perhatian khusus pada program pemulihan ekonomi dan penanggulangan dampak pandemi Covid-19, termasuk juga telah mengantisipasi kebutuhan pengadaan vaksin.
"APBN Tahun Anggaran 2021, merencanakan pendapatan negara sebesar Rp 1.743 triliun, belanja negara sebesar Rp 2.750 triliun, defisit sebesar Rp 1.006 triliun atau 5,7 persen terhadap PDB. Dengan postur APBN yang demikian ini, pemerintah diamanatkan, oleh UU APBN Tahun Anggaran 2021, agar bekerja secara efisien dan mengoptimalkan efektivitas dampak APBN bagi kesejahteraan rakyat," ungkapnya.
Sebelumnya Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Achmad Baidowi membenarkan bahwa DPR mempercepat rapat paripurna. Semestinya, rapat paripurna penutupan masa Sidang I Tahun 2020/2021 digelar Kamis (8/10) mendatang, namun DPR memutuskan untuk mempercepat rapat paripurna pada Senin (5/10).
"Tadi disepakati Bamus DPR karena laju Covid-19 di DPR terus bertambah maka penutupan masa sidang dipercepat. Maka mulai Selasa (6/10) tidak ada aktivitas lagi di DPR RI," ujarnya.
Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin mengatakan, 40 orang di lingkungan Kompleks Parlemen terkonfirmasi positif Covid-19. Di mana, 18 di antaranya merupakan anggota DPR.
“Ya kabarnya ada 18 (anggota DPR positif Covid-19), masuk 40 orang, staf, tenaga ahli,” ujar Azis di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (6/10).
Namun, ia tak mengetahui dari fraksi atau komisi mana saja anggota DPR yang terinfeksi Covid-19. Pihaknya saat ini tengah mempertimbangkan adanya lockdown untuk Kompleks Parlemen.
“Ya intinya supaya penyebarannya tak meluas, makanya saya mengajak teman-teman wartawan juga untuk jaga jarak juga,” ujar Azis.
Selain itu, pihaknya juga mempercepat masa reses anggota dewan. Tujuannya, agar aktivitas di Kompleks Parlemen yang berpotensi menularkan Covid-19 dapat dikurangi.
Sekretaris Jenderal DPR RI Indra Iskandar menjelaskan sebelum dibawa ke Paripurna, RUU Ciptaker ini sudah dibahas di Rapat Bamus untuk ditentukan tanggal pelaksanaan Rapat Paripurna. pic.twitter.com/jlWCk122dl
— DPR RI (@DPR_RI) October 6, 2020
Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menyoroti satu tahun kinerja DPR RI. Dalam masa kinerja yang dilewati pada masa pandemi Covid-19 ini, Formappi menilai, DPR tak menunjukkan kinerja yang responsif atas pandemi yang berlangsung.
"Jika melihat dinamika DPR sehari-hari sejak pertama kali pemerintah mengumumkan kluster pertama penularan Covid 19, tak terlihat respons DPR yang menunjukkan bahwa pandemi ini merupakan sesuatu yang serius," ujar peneliti Formappi, Lucius Karus dalam pesan yang diterima Republika.co.id, Jumat (2/10).
Ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan pasien pertama Covid-19 pada 2 Maret 2020, DPR tengah melaksanakan reses di daerah pemilihan. Idealnya, menurut Formappi, jika DPR sejak awal menganggap pandemi ini sesuatu yang serius, repons cepat yang harus dilakukan adalah mengagendakan penyelenggaraan Rapat Paripurna Luar Biasa sesuai Tata Tertib DPR, Pasal 229 untuk membicarakan kebijakan cepat yang harus diambil dalam menghadapi sekaligus mengatasi situasi dan dampak lanjutan pandemi.
Yang terjadi, DPR justru menunda rapat paripurna pembukaan MS III dari yang sebelumnya dijadwalkan pada 23 Maret menjadi 30 Maret. Dengan menunda jadwal rapat paripurna pembukaan, DPR kehilangan momentum untuk menjadi penanggungj awab utama yang bersama pemerintah menentukan arah kehidupan berbangsa di tengah situasi pandemi.
"Dalam perkembangan selanjutnya, sikap DPR dalam melihat pandemi tak ada bedanya dengan cara pandang mereka pada kondisi normal," jelas Lucius.
Dalam banyak momen, Ketua DPR memang mengingatkan fokus bangsa pada penanganan pandemi. Akan tetapi peringatan Ketua DPR itu tak terlihat ditindaklanjuti oleh setiap alat kelengkapan DPR melalui perumusan agenda kegiatan yang terfokus pada pandemi. Faktanya hanya mekanisme pelaksanaan sidang saja yang berubah pada DPR sepanjang masa pandemi (dari pertemuan tatap muka ke daring).
"Tak terlihat adanya perubahan dalam perencanaan yang fokus pada upaya penanganan pandemi," kata Lucius.
Lucius juga menilai, DPR cenderung tak berdaya di hadapan pemerintah contohnya ketika mereka juga mendukung pelaksanaan Pilkada dilanjutkan pada 9 Desember nanti. Sebagai wakil rakyat, DPR enggan membawa suara penolakan warga atas pelaksanaan Pilkada dan memilih untuk mendukung keinginan pemerintah.
"Jika DPR terus dengan posisinya sebagai “pendukung setia” pemerintah, maka sulit berharap bahwa aspirasi rakyat masih relevan untuk disampaikan melalui DPR. Dengan kata lain peran DPR sebagai perwakilan rakyat sudah terkooptasi oleh kepentingan politik DPR sendiri," ujar Lucius menambahkan.
In Picture: Tok! DPR Sahkan RUU Cipta Kerja Jadi Undang-Undang