REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Politik Karyono Wibowo memandang fenomena ketidakpuasan dalam pembahasan RUU Cipta Kerja adalah hal biasa sebagaimana sering terjadi dalam pembahasan rancangan undang-undang (RUU) lain. Dalam pembahasan RUU acapkali menimbulkan konflik dari para pihak yang berkepentingan.
Karyono memantau ketidakpuasan kalangan buruh tidak hanya diekspresikan pada pembahasan RUU Cipta Kerja. Ketidakpuasan yang berujung pada aksi penolakan juga terjadi dalam pembahasan RUU maupun kebijakan dalam pelbagai regulasi yang menyangkut nasib kaum buruh.
"Tentu saja, perjuangan serikat buruh sebagai pihak yang berkepentingan pasti memperjuangkan hak hak buruh. Sementara pemerintah bersama DPR sebagai regulator memiliki kepentingan membuat aturan yang diselaraskan dengan program pembangunan nasional seperti meningkatkan investasi, dan sebagainya," kata Karyono pada Republika.co.id, Senin (5/10).
Sedangkan peran lanjutan pemerintah, tambah Karyono menyiapkan arah untuk menyeimbangkan penyelenggaraan pembangunan melalui penerbitan peraturan-peraturan. Kemudian pengusaha membutuhkan kepastian hukum demi terciptanya iklim usaha yang kondusif dan sustainable.
"Maka kata kuncinya adalah muswarah untuk mencapai mufakat. Mencari jalan tengah untuk mencapai kompromi. Jika tidak, maka yang terjadi pasti konflik. Konflik tersebut terjadi ketika seseorang atau kelompok mencoba memaksakan keinginannya satu terhadap yang lain," ujar Karyono.
Setelah pembahasan di rapat paripurna DPR mulai Senin Siang, RUU Ciptaker akhirnya disahkan. Tujuh fraksi di DPR sepakat mendukung pengesahannya. Dukungan mayoritas fraksi tersebut tidak hanya mencerminkan dukungan kuat secara politik tapi juga akan melegitimasi RUU Cipta Kerja.
"Walau begitu, tentu masih menyisakan ketidakpuasan sejumlah buruh. Fenomena seperti ini bukan barang langka karena pada umumnya, kebijakan acapkali menimbulkan kontradiksi. Meski demikian pada akhirnya kebijakan yang dibuat tetap berjalan," ucap Karyono.