REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu fokus peneliti dalam menjalankan uji klinis adalah mengantisipasi adanya ADE (Antibody Dependent Enhancement). Termasuk dalam uji klinis vaksin Covid-19.
Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menjelaskan, mengingat belum ada vaksin Covid-19 yang sudah lulus uji klinis fase III sampai saat ini maka kewaspadaan dan pengawasan terhadap kemaanan vaksin tetap harus dilakukan. Salah satu fokus peneliti dalam menjalankan uji klinis adalah mengantisipasi adanya ADE (Antibody Dependent Enhancement).
ADE, ujar Wiku, adalah suatu kondisi dari reaksi tubuh karena antibodi tubuh dalam melawan antigen, bisa berupa virus atau bakteri. Sementara antibodi yang tersedia dalam tubuh bukan antibodi yang spesifik untuk melawan virus tersebut. Hal ini menimbulkan reaksi tubuh yang negatif.
"Terkait dengan efek samping ADE, sejauh ini hanya terlihat pada penyakit Dengue dan sejenisnya, tidak pada virus lain. Fenomena ADE, terlihat pada MERS, SARS, Ebola, HIV, semata-semata ditemukan in silico dan in vitro dan tidak menggambarkan fenomena di manusia," ujar Wiku dalam keterangan pers di kantor presiden, Selasa (6/10).
Fenomena ADE untuk SARS Cov-2 (virus penyebab Covid-19-Red) sudah diselidiki sejak percobaan pre klinis dan dinyatakan aman dan baik. Namun, karena adanya perbedaan antara hewan percobaan dan manusia, maka risiko ADE pada manusia juga harus diinvestigasi.
"Inilah pentingnya uji klinis melalui semua fase," ujar Wiku
Jika sudah lulus uji klinis fase III dan memberikan laporan yang baik, maka kandidat vaksin bisa meminta persetujuan edar dari lembaga pengawas. "Kita tidak boleh terburu-buru dan harus berpegang teguh pada data hasil uji," ucap Wiku.