REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Seorang wanita (istri) tidak boleh dipaksa menyediakan sesuatu melalui maharnya yang diberikan kepadanya, sebagian atau seluruh dari hartanya sendiri.
Mahar adalah milik istri secara keseluruhan, di mana dia boleh membelanjakan atau menggunakan sekehendak hatinya dalam kebaikan.
"Istri bebas membelanjakan mahar tanpa harus meminta izin terlebih dahulu dari suaminya. Di sisi lain suami juga tidak boleh melarang dia membelanjakannya," kata Syekh Kamil Muhammad Uwaidah dalam kitabnya Fiqih wanita.
Menurutnya jika diberikan kepada seorang istri mahar dalam jumlah dinar atau dirham yang cukup banyak maka diperbolehkan memaksanya untuk membelanjakan barang seperti pakaian atau perhiasan untuk berhias diri bagi sang suami. Akan tetapi, sang suami tidak boleh memaksa untuk membayarkan utangnya (suami), kecuali tiga dinar atau kurang.
Apabila istri diberi seperangkat emas atau perak sebagai mahar, maka semua itu menjadi miliknya dan dia tidak boleh dipaksa untuk membelanjakannya. Namun, boleh dipaksa memakainya untuk menyenangkan suaminya.
Syekh Kamil menyampaikan, jika diberi mahar berupa pakaian, maka boleh istri dipaksa untuk memakainya ketika sang suami berada disisinya. Akan tetapi ia tidak berkewajiban memakainya sampai waktu di mana pakaian itu tidak layak lagi untuk pakai.
"Jika diberi mahar berupa binatang ternak, rumah atau makanan maka sang suami tidak mempunyai hak khusus terhadap suaminya," katanya.
Istri berhak menjual atau menukarkannya dan suami tidak berhak mengambil manfaat darinya sedikit pun. Jadi, tidak boleh juga suami melihatnya, kecuali dengan izinnya istri. "Demikian menurut pendapat Imam Malik," katanya.