REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Isu soal cuti dan istirahat dalam UU Cipta Kerja (Ciptaker) menjadi salah satu poin protes serikat buruh dan pekerja. Pasalnya, terdapat sejumlah perbedaan yang dianggap merugikan bila dibandingkan dengan UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pengaturan soal Cuti dan Istirahat diatur dalam pasal 79. Di kedua undang-undang, perusahaan wajib memberi waktu istirahat dan cuti bagi pekerja. Namun, ketentuan berbeda ditemukan dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b.
Pada UU Ciptaker, Pasal 79 ayat (2) huruf b berbunyi: istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. Sedangkan, dalam UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 79 ayat (2) huruf b berbunyi: istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
Bila dibandingkan, keduanya memang boleh mempekerjakan pekerjanya dalam waktu enam hari sepekan. Namun, UU Ciptaker menegaskan hal itu dengan menghapus opsi lima hari kerja dua hari istirahat.
Bukan hanya itu, pengubahan signifikan dilakukan dal hal istirahat panjang. UU Ciptaker memberikan keleluasaan bagi pemberi kerja dalam mengatur hal tersebut melalui Pasal 79 ayat (5) yang berbunyi: Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud, perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Padahal sebelumnya, UU 13/2003 Ketenagakerjaan mengatur istirahat panjang pada Pasal 79 ayat (2) huruf d, yang berbunyi: istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.