REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fatchy Muhammad termasuk orang yang percaya bahwa bencana banjir dan kekeringan di Jakarta seharusnya tidak perlu terjadi jika konsep pengendalian air bisa dikelola secara optimal. Pada kenyataannya di musim hujan, banjir masih merendam beberapa kawasan di Jakarta. Giliran kemarau tiba, justru kekeringan yang melanda.
"Kondisi itu merupakan sebuah situasi yang ganjil karena satu sisi air hujan menjadi penyebab banjir dan satu sisi lagi masyarakat kekurangan air," katanya saat menghadiri Sosialisasi Gerakan Menabung Air di Jakarta Timur di Ruang Rapat Khusus Wali Kota, baru-baru ini.
Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta melaporkan banjir hingga saat ini masih menjadi ancaman untuk warga Ibu Kota. Pada peristiwa terakhir Ahad (5/10), banjir merendam 69 Rukun Tetangga (RT) di tiga wilayah administratif Jakarta akibat luapan sungai dan hujan lokal.
Saat itu Jakarta Timur menjadi kawasan paling banyak terdampak banjir. Tidak kurang 51 RT terendam dengan ketinggian air bervariasi mulai dari 10-30 sentimeter di 20 RT, 31-70 sentimeter di 27 RT dan 71-150 sentimeter di empat RT.
Banjir di Jakarta Selatan melanda 16 RT terdiri atas ketinggian air 10-30 sentimeter di empat RT dan 31-70 sentimeter di 12 RT. Banjir juga menyergap dua wilayah RT di Jakarta Barat dengan ketinggian permukaan air 10-40 sentimeter.
Sedangkan saat kemarau pada pendataan Oktober 2019, wilayah yang paling terdampak kekeringan adalah Jakarta Barat di 28 RT, diikuti Jakarta Timur 12 RT dan Jakarta Utara di lima RT.
Fatchy paham betul tentang seluk beluk pengelolaan air. Ia adalah lulusan Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung (ITB) yang saat ini aktif sebagai anggota Dewan Sumber Daya Air Provinsi (DSDAP) DKI Jakarta mewakili komunitas lingkungan Masyarakat Air Indonesia.
Menurut Fatchy, jumlah air saat kemarau di Pulau Jawa, termasuk Jakarta hanya 25,3 miliar meter kubik. Sedangkan kebutuhan air mencapai 38,4 miliar meter kubik.
Jakarta tidak semestinya kekurangan air bila memanfaatkan air hujan dengan optimal. Hitung-hitungan Fatchy dengan asumsi curah hujan Jakarta rata-rata 2.250 mm per tahun, maka jumlah air hujan yang bisa ditampung berkisar 1,4 miliar meter kubik per tahun.
"Dengan kebutuhan air rata-rata 73 meter kubik per orang dalam setahun, maka air hujan itu cukup untuk memenuhi kebutuhan 20 juta penduduk atau dua kali jumlah penduduk Jakarta jika dikelola dengan baik," ungkapnya.
Menurut dia, selama ini sungai diperlebar agar air hujan segera mengalir ke laut. Artinya, setiap tahun selalu membuang-buang air hujan. Padahal jika diresapkan ke dalam tanah, akan menaikkan muka air tanah sehingga saat kemarau tidak menurun drastis dan bisa dimanfaatkan.
Fatchy berpendapat bahwa akar masalah dari keganjilan itu adalah urbanisasi yang mendorong perubahan fungsi lahan resapan yang membuat tanah tidak dapat meresap air lagi. Curah air hujan yang diserap tidak sebanyak yang seharusnya sehingga kuantitas air tanah menurun.
Perubahan tata ruang
Sejak zaman dulu,Jakarta memang dikenal sebagai kawasan banjir. Sejumlah literasi sejarah mengungkapkan kepungan banjir besar Jakarta telah terjadi sejak tahun 1600-an, tepatnya saat Jan Pieterszoon Coen menjabat sebagai Gubernur Jenderal Persekutuan Dagang Belanda (VOC).
Pada zaman itu kanal penanggulangan banjir berupa sodetan Kali Ciliwung dibangun. Kemudian, berlanjut dengan pembuatan Kanal Banjir Barat saat pemerintahan Gubernur Jenderal VOC Johan Paul van Limburg Stirum berkuasa tahun 1918.
Fatchy mengemukakan banjir yang melanda Jakarta dipengaruhi perubahan tata ruang di kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat, yang menjadi hulu dari aliran air yang melintas menuju laut. Awalnya kawasan puncak adalah hutan yang mampu meresap 73 hingga 97 persen air, sementara yang terbuang ke hilir mencapai tiga hingga 27 persen.
Pemerintah Belanda mengubah kawasan itu sebagai perkebunan teh yang mengakibatkan resapan air ke dalam tanah semakin sedikit dan air yang mengalir atau terbuang semakin besar. Lahan budidaya meresap 50-70 persen air dan sisanya 30-50 persen menjadi terbuang.
Seiring dengan pesatnya perkembangan kota, muncul bangunan-bangunan baru di kawasan Puncak berupa vila dan area rekreasi. Kemudian di Depok dan sekitarnya muncul bangunan sedang dan kawasan permukiman.
Begitu pula di DKI Jakarta yang semakin padat permukiman imbas urbanisasi yang membuat resapan air menjadi terbalik dari kondisi awal.
Perkotaan hanya meresap tiga hingga 27 persen air, sementara yang terbuang 73-97 persen. Akhirnya persediaan air tanah habis karena tidak ada yang masuk ke dalam tanah dan justru mengalir ke drainase kota.
Drainase kota di DKI Jakarta saat ini dirancang untuk menampung debit air hujan secara maksimal mencapai 120 mm per hari. Dilansir dari data Masyarakat Air Indonesia, Jakarta telah diterjang sedikitnya delapan kali hujan ekstrim yang memicu banjir sejak 1996 hingga 2020 akibat luapan drainase kota.
Hujan ekstrem di Jakarta pernah terjadi pada 1996 dengan intensitas 216 mm per hari, 2002 mencapai 168 mm per hari, 2007 mencapai 340 mm per hari, 2008 mencapai 250 mm per hari. Pada 2013 mencapai 100 mm per hari, 2015 mencapai 277 mm per hari, 2016 mencapai 250 mm per hari dan 2020 mencapai 377 mm per hari.