REPUBLIKA.CO.ID, Dalam perspektif Islam, kebahagiaan (sa’adah/happiness) oleh banyak cendekiawan dan ulama didefinisikan sebagai kondisi batiniah saat manusia berada di maqam takwa.
Imam al-Ghazali, seperti dikutip Buya Hamka dalam bukunya, Tasauf Modern, mengungkapkan, ”Bahagia dan kelezatan yang sejati ialah bilamana dapat mengingat Allah.” Hutai’ah, seorang ahli syair, menggubah sebuah syair, wa-lastu araa al-sa’adata jam’u maalin— wa-laakin al-tuqaa lahiya al-sa’iidu (Menurut pendapatku, bukanlah kebahagiaan itu pada pengumpul harta benda, tetapi takwa akan Allah itulah bahagia)."
Jadi, kebahagiaan adalah kondisi hati yang dipenuhi dengan keyakinan (iman) dan berperilaku sesuai dengan keyakinannya itu. Bilal bin Rabah merasa bahagia dapat mempertahankan keimanannya meskipun dalam kondisi disiksa. Imam Abu Hanifah merasa bahagia meskipun harus dijebloskan ke penjara dan dicambuk setiap hari karena menolak diangkat menjadi hakim negara.
Menurut al-Ghazali, puncak kebahagiaan pada manusia adalah jika dia berhasil mencapai ”ma’rifatullah”, telah mengenal Allah SWT. Selanjutnya al-Ghazali menyatakan, ”Ketahuilah bahagia tiap-tiap sesuatu ialah bila kita rasai nikmat kesenangan dan kelezatannya dan kelezatan itu ialah menurut tabiat kejadian masing-masing. Maka, kelezatan (mata) ialah melihat rupa yang indah, kenikmatan telinga mendengar suara yang merdu, demikian pula segala anggota yang lain dari tubuh manusia. Ada pun kelezatan hati ialah teguh makrifat kepada Allah karena hati itu dijadikan ialah buat mengingat Tuhan ....
Seorang hamba rakyat akan sangat gembira kalau dia dapat berkenalan dengan wazir; kegembiraan itu naik berlipat-ganda kalau dia dapat berkenalan pula dengan raja. Tentu saja berkenalan dengan Allah adalah puncak dari segala macam kegembiraan lebih dari apa yang dapat dikira-kirakan manusia sebab tidak ada yang maujud ini yang lebih dari kemuliaan Allah .... Oleh sebab itu, tidak ada makrifat yang lebih lezat daripada ma’rifatullah.” Allah SWT sudah mengingatkan:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Andaikan penduduk suatu wilayah mau beriman dan bertakwa, maka pasti akan Kami buka pintu-pintu berkah dari langit dan bumi. Tetapi, mereka mendustakan (ajaran-ajaran Allah), maka Kami azab mereka karena perbuatan mereka sendiri.” (QS al-A’raf [7]: 96).
وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا قَرْيَةً كَانَتْ آمِنَةً مُطْمَئِنَّةً يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِنْ كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللَّهِ فَأَذَاقَهَا اللَّهُ لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُونَ
“Dan, Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tem pat, tetapi penduduknya mengingkari nikmat-nikmat Allah karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” (QS an-Nahl [16]: 112).
Prof SM Naquib al-Attas mendefinisikan kebahagiaan (sa’adah/happiness) sebagai, ”Kesejahteraan dan kebahagiaan itu bukan dianya merujuk kepada sifat badani dan jasmani insan, bukan kepada diri hayawani sifat basyari; dan bukan pula dia suatu keadaan akal-pikir insan yang hanya dapat dinikmati dalam alam fikiran dan nazar-akali belaka. Kesejahteraan dan kebahagiaan itu merujuk kepada keyakinan diri akan Hakikat Terakhir yang Mutlak yang dicari-cari itu, yakni: keadaan diri yang yakin akan Hak Ta’ala—dan penuaian amalan yang dikerjakan diri itu berdasarkan keyakinan itu dan menuruti titah batinnya.” (SMN al-Attas, Ma’na Kebahagiaan dan Pengalamannya dalam Islam, (Kuala Lumpur:ISTAC:2002, pengantar Prof Zainy Uthman, hal xxxv).
*Naskah ini merupakan cuplikan dari artikel Dr Adian Husaini yang tayang di Harian Republika 2011