Rabu 07 Oct 2020 22:23 WIB

Bioskop Kesulitan, Bisakah Hollywood Diselamatkan?

Sebanyak 93 persen bioskop AS rugi lebih dari 75 persen pada kuartal II 2020.

Rep: Santi Sopia/ Red: Qommarria Rostanti
Bioskop saat pandmei Covid-19 (Ilustrasi)
Foto: republika/mardiah
Bioskop saat pandmei Covid-19 (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, LOS ANGELES -- Pandemi Covid-19 telah memukul industri hiburan, termasuk memaksa bioskop tutup sementara maupun permanen. Dilansir di Nbc News, ada hampir 70 persen dari perusahaan bioskop kecil dan menengah yang diketahui mengajukan perlindungan kebangkrutan atau penutupan secara permanen.

Banyak studio yang menunda produksi maupun perilisan film. Saat era new normal mulai membuat sineas memproduksi film, ada saja kru yang terpapar, seperti halnya berita mengejutkan bintang The Batman, Robert Pattinson, karena dinyatakan positif Covid-19.

Di antara film-film yang sangat dinanti dan belum tayang di bioskop, ada James Bond: No Time to Die, sekarang dijadwalkan tayang perdana pada April, dan Dune yang ditetapkan pada Oktober 2021. Keputusan-keputusan studio jelas memengaruhi bioskop. Hidup bioskop bergantung pada konten baru untuk menarik pebonton dan bersaing dengan banyaknya platform streaming seperti Netflix, Amazon, dan Hulu.

Beberapa studio memilih untuk melewati bioskop sepenuhnya dengan merilis film ke layanan video-on-demand berlangganan. Itu sejatinya merugikan bioskop karena sementara studio dan teater biasanya mendapatkan sekitar setengah dari pemasukan kotor box office film, studio mendapatkan lebih banyak dari rilis digital, sekitar 80 persen.

Universal Studio telah melakukannya dengan beberapa film tahun ini, dimulai pada April dengan merilis film Trolls World Tour, lalu ada The Invisible Man, dan The Hunt yang dipindahkan ke platform on-demand. Disusul Disney mengikuti jejak dengan merilis Mulan di layanan streaming setelah berulang kali menunda peluncuran bioskopnya. Raksasa hiburan merilis film tersebut di Asia, tetapi di AS dan Eropa, film hanya tersedia pada layanan berlangganan Disney+.

Selain itu, pendapatan kotor Mulan tidak sebanyak yang diharapkan sebelum Covid-19. "Ini tidak bekerja pada skala yang cukup untuk menggantikan ekonomi yang biasa mereka gunakan pada film fitur," kata analis media Rich Greenfield dari LightShed Partners.

Pendapatan kecil mungkin bisa diterima untuk film yang juga sesuai modal semisal Trolls. Namun itu menjadi sangat sulit untuk film yang lebih mahal seperti Mulan. Memang, ada studio lain yang maju dan merilis film secara internasional maupun di pasar AS tertentu, seperti halnya Tenet garapan Christopher Nolan.

Film ini meraih kesuksesan lumayan di box office, menghasilkan 20 juta dolar AS ketika pertama kali ditayangkan. Raihan Tenet kini telah mencapai 300 juta dolar AS atau sekitar Rp 4 triliun secara global. Namun tetap saja capaian itu rendah dibandingkan ekspektasi.

Penonton terus waspada untuk kembali ke bioskop karena jumlah kasus Covid-19 terus meningkat. Tes positif Presiden Donald Trump untuk Covid-19 semakin menyoroti seberapa besar ancaman yang terus ditimbulkan oleh paparan virus.

Teater bersatu untuk membentuk CinemaSafe, sebuah upaya industri untuk mengadopsi prosedur keselamatan yang dikembangkan oleh ahli epidemiologi. Akan tetapi jumlah penonton tetap saja rendah meskipun telah dilakukan upaya tersebut.

Meskipun bioskop mungkin dapat menarik minat beberapa orang untuk kembali, namun terikat oleh batasan kapasitas. Banyak negara bagian, termasuk California, telah mengizinkan bioskop dibuka kembali hanya di wilayah tertentu. Tiga negara bagian, termasuk New York, belum mengizinkan bioskop dibuka kembali.

Hal ini masih menjadi masalah, mengingat seberapa besar pasar New York City dan California untuk bioskop. Situasinya sangat mengerikan sehingga Cineworld, perusahaan induk bioskop Regal, akan menutup sementara 536 lokasinya di AS.

"Kami menghadapi situasi di mana lebih baik bagi perusahaan untuk ditutup daripada dibuka. Pasar AS adalah pasar paling penting di dunia, dan dua pasar New York dan California adalah pasar yang paling penting di AS," kata CEO Cineworld Mooky Greidinger kepada CNBC.

Greidinger mengatakan studio ragu untuk merilis film karena bioskop di New York dan California masih belum dibuka sepenuhnya. Peraturan di negara bagian tersebut pada dasarnya memblokir rilis baru karena harus ada daftar film baru yang siap.

"Kami sekarang seperti toko kelontong yang tidak memiliki makanan untuk dijual," katanya.

Ketika bioskopnya bagus, sudah siap, tapi tidak ada film baru. "Hollywood tidak dapat merilis film mereka di bioskop. Mereka tidak dapat benar-benar menjualnya langsung ke rumah karena mereka tidak dapat menghasilkan cukup pendapatan dan keuntungan dengan cara itu," kata Greenfield.

Ada dua pilihan yakni memilih Netflix atau menunggu. Hampir setiap studio konvensional Hollywood memilih untuk menunggu.

Asosiasi Nasional Pemilik Teater menyatakan bioskop membutuhkan bantuan khusus yang disesuaikan dengan keadaan mereka. Mereka mendorong untuk bersatu dalam solusi bipartisan untuk memberikan bantuan.

Surat tersebut, yang didukung oleh sutradara ternama Sofia Coppola, Lee Daniels dan Clint Eastwood, juga mencatat 93 persen perusahaan bioskop mengalami kerugian finansial lebih dari 75 persen pada kuartal kedua tahun 2020. Jika status quo berlanjut, 69 persen perusahaan bioskop skala kecil dan menengah dipaksa bangkrut atau ditutup secara permanen dan 66 persen pekerjaan teater akan hilang. 

Greenfield memprediksi, pengalaman menonton bioskop akan berubah menjadi lebih dari sekadar acara, seperti menghadiri konser atau acara olahraga. Dalam model ini, harga tiket akan lebih tinggi, dan pengalaman tersebut kemungkinan akan mencakup fasilitas lain untuk bersaing dengan opsi menonton film di rumah.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement