REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Fathimah Fildzah Izzati menilai, Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) memang bisa membuat pekerja lebih produktif. Namun, tingkat upah dan kesejahteraan pekerja rendah.
"Iya dituntut lebih produktif karena upah didasarkan pada satuan waktu dan hasil, tapi dengan tingkat upah dan kesejahteraan yang sangat rendah," kata Fildzah di Jakarta, Rabu (8/10).
Sebelumnya, Fildzah mengatakan, di dalam pasal 88 B UU Ciptaker disebutkan bahwa upah ditetapkan berdasarkan dua hal, yaitu satuan waktu dan satuan hasil. Itu berarti upah yang diterima pekerja akan lebih besar jika waktu bekerja lebih lama dan hasil pekerjaan lebih banyak.
"Kita sudah bisa melihat contohnya para supir taksi dan ojek daring di ekonomi perusahaan-perusahaan seperti Gojek, Grab, dan lain-lain. Mereka kan kerja berdasarkan order yang mereka terima. Mereka bisa bekerja melebihi jam kerja pada umumnya, misalnya delapan jam kerja, karena ingin mendapatkan penghasilan yang lebih," kata Fildzah
Namun, kata Fildzah, bukan jaminan bahwa pekerja akan mendapatkan besaran upah dan tingkat kesejahteraan yang layak pada satu pekerjaan yang diampu kepadanya.
"Sebab, struktur dan skala upah ditentukan oleh kemampuan perusahaan," ujarnya.
Fildzah mengatakan, ketentuan semula berdasarkan pasal 92 Undang-Undang Ketenagakerjaan diubah dengan UU Omnibus Law tersebut. Kini, dengan disahkannya UU Cipta Kerja itu, pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di perusahaan dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.
Semula, pada pasal 92 UU Ketenagakerjaan, pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi pekerja. Struktur dan skala upah digunakan sebagai pedoman pengusaha dalam menetapkan upah.
Kemudian ditegaskan pula melalui pasal sisipan setelahnya yaitu pasal 92 A yang menyebutkan: 'Pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.'
Fildzah mengatakan dirinya tidak dapat mendukung ruh yang ada di dalam Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja.
"Kalau, kesannya kayak pro sama omnibus law. Padahal saya menentang," kata Fildzah ujarnya.
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah pada Rabu (7/10) kembali menjelaskan soal poin-poin klaster ketenagakerjaan di UU Cipta Kerja yang selama ini mengalami distorsi informasi di masyarakat, pekerja atau buruh, di antaranya adalah soal UMK. Menurut Ida, terdapat penegasan variabel dan formula dalam penetapan upah minimum berdasarkan pertumbuhan ekonomi atau inflasi.
Di mana ketentuan mengenai UMK juga tetap dipertahankan di UU Ciptaker. "Saya ulang untuk menegaskan bahwa Upah Minimum Kabupaten/Kota tetap dipertahankan," katanya.
Hal lain yang terjadi distorsi dalam UU Cipta Kerja pada klaster ketenagakerjaan, kata Ida, adalah UU ini disebut menghapus ketentuan mengenai penangguhan pembayaran upah minimum. Ida kembali membantah hal itu.
"Jadi banyak yang berkembang bahwa, upah minimum dihapus. Padahal upah minimum ini tetap diatur dan ketentuannya juga tetap mengacu pada uu 13 tahun 2003 dan PP 78 tahun 2015," tegasnya.