REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tak hanya sektor ketenagakerjaan dalam negeri, pekerja migran asal Indonesia juga dinilai berpotensi terdampak UU Cipta Kerja (Ciptaker). Migrant CARE menilai, ada ketentuan dalam RUU Ciptaker yang menegasikan kontrol dan evaluasi bagi perusahaan perekrut pekerja migran Indonesia sehingga mengancam perlindungan pekerja migran Indonesia.
Direktur Eksekutif Migrant CARE Wahyu Susilo menjelaskan, UU No. 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia juga belum diimplementasikan secara konkrit hingga ke daerah. Alih-alih mengimplementasikan aturan turunan untuk menjadi landasan bagi perwujudan tata kelola pelindungan pekerja migran dari pusat hingga daerah, UU No. 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia justru terancam kehilangan tajinya sebagai alat kontrol dan evaluasi bagi perusahaan perekrut pekerja migran Indonesia.
"Dengan pasal 89A di kluster ketenagakerjaan UU Cipta Kerja yang berpotensi merelaksasi pengetatan aturan P3MI (Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia atas nama kemudahan berusaha dan investasi," kata Wahyu Susilo dalam pesan singkat yang diterima Republika.co.id, Rabu (7/10).
Menurut draf RUU terakhir yang diterima Republika.co.id pasca disahkan di Paripurna pada Senin (5/10), dalam RUU Ciptaker di antara Pasal 89 dan Pasal 90 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 89A. Adapun pasal tersebut berbunyi:
"Pada saat berlakunya Undang-Undang tentang Cipta Kerja maka pengertian atau makna SIP3MI dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia menyesuaikan dengan ketentuan mengenai Perizinan Berusaha."
Bagi Migrant CARE, pasal 89A sangat berpotensi untuk melumpuhkan spirit pasal-pasal pengawasan ketat bagi operasional perusahaan swasta. Selama ini, kata Wahyu, mereka melakukan proses perekrutan secara ugal-ugalan demi keuntungan bisnisnya tanpa memperhatikan keselamatan dan perlindungan pekerja migran Indonesia.
Dia mengingatkan, siituasi pekerja migran Indonesia masih jauh dari kondisi kerja layak. Mereka masih harus berhadapan dengan sindikat perdagangan manusia, negara-negara yang tak aman bagi pekerja migran, kebijakan yang diskriminatif dan kekerasan berbasis gender.
"Migrant CARE menyerukan kepada Pemerintah Indonesia dan DPR-RI untuk menghentikan produksi kebijakan-kebijakan yang mengancam kondisi kerja layak bagi kaum pekerja Indonesia," kata Wahyu.
Wahyu menyoroti, ketika dunia merayakan Hari Kerja Layak Pekerja Sedunia (World Day of Decent Work) terjadi ironi di Indonesia berupa penetapan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja. Secara prosedural, legislasi ini diproses secara terburu-buru, tidak melibatkan partisipasi publik secara signifikan dan mengenyampingkan persyaratan penyusunan perundangan yang berlaku.
Secara substansi, isi dari legislasi ini mengancam jaminan perlindungan yang ada dalam berbagai UU yang selama ini menjadi payung perlindungan.
Perwujudan kerja layak bagi kaum pekerja membutuhkan payung hukum perburuhan, kebijakan perlindungan sosial yang komprehensif dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Namun syarat-syarat tersebut terancam hilang apabila semua aturan terkait perburuhan disubordinasikan pada UU sapu jagat yang mengabdi pada kepentingan ekonomi semata.
"Tidak ada pertumbuhan ekonomi yang inklusif tanpa perwujudan kerja layak bagi pekerja," kata Wahyu menegaskan.