REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rakhmad Zailani Kiki; Kepala Lembaga Peradaban Luhur (LPL)
Ketika omnibus law yang bernama UU Ciptaker disahkan oleh DPR, saya mengkritik sebuah paragraf dan pasal yang masih mencantumkan tentang pendidikan di UU tersebut ke kawan saya yang anggota DPR.
Ketika kritikan saya sampaikan ke kawan saya ini, malah dia balik bertanya ke saya, “Apa sudah baca keseluruhan UU Ciptaker?”
Pertanyaan kawan ini menurut saya aneh. Untuk apa saya harus membaca keseluruhan isi UU Ciptaker? Walau memang saya sudah mempersiapkan diri dengan mengunduh lengkap file UU Ciptaker yang telah disahkan oleh DPR.
Namun, sebagai rakyat yang concern dengan pendidikan, saya tidak usah membaca detail keseluruhan isi UU tersebut yang berjumlah 905 halaman. Saya hanya concern pada paragraf dan pasal yang terkait dengan pendidikan.
Begitu pula pihak-pihak lain yang dirugikan dengan UU ini, tentu hanya concern dengan bidangnya karena UU ini adalah ominbus law, undang-undang yang mencakup lebih satu aspek yang digabung menjadi satu undang-undang.
Dengan demikian, yang harus dan wajib ain membaca keseluruhan isi UU Ciptaker ini adalah anggota DPR karena mereka kokinya yang meramu UU ini. Karenanya, pertanyaan kawan saya ini seharusnya ditujukan kepada rekan-rekannya sesama anggota dewan. “Apakah mereka sudah membaca seluruh isi UU Ciptaker?”
Tentu jika anggota DPR yang membaca, maka bukan sekadar membaca teks, tetapi juga membaca konteks, membaca kemungkinan efek yang ditimbulkannya atau reaksi dari rakyat yang mereka wakili dari setiap pasal di UU Ciptaker.
Dan dari banyaknya reaksi penolakan masyarakat, ormas dan sejumlah tokoh serta pakar di bidangnya masing-masing sejak UU Ciptaker ini disahkan, saya kira, sebagian besar anggota DPR belum sempat membaca ulang keseluruhan UU Ciptaker ini ketika akan disahkan, baik teks maupun konteksnya.
Karenanya, biarkan rakyat menggugat UU Ciptaker ke Mahkamah Konstitusi dan biarkan Mahkamah Konstitusi yang membacakan ulang isi UU Ciptaker ini secara detail, pasal per pasal untuk para wakil rakyat yang terhormat dan untuk rakyat yang mereka wakili yang sedang menggugat mereka.
Dan jika Mahkamah Konstitusi yang membacanya untuk wakil rakyat, maka ini sebenarnya sebuah teguran, momen introspeksi bagi anggota dewan yang terhormat ini tentang kapasitas mereka sebagai pembuat undang-undang dan juga tentang kompentensi literasi yang sangat mendasar, kompetensi membaca mereka yang mungkin saja rendah.