REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Mantan Duta Besar Arab Saudi untuk Amerika Serikat (AS) dan kepala intelijen Pangeran Bandar bin Sultan mengatakan, Arab Saudi mendukung Palestina. Namun, tidak para pemimpinnya dan harus dipahami Kerajaan itu memiliki kepentingannya sendiri.
"Pendapat pribadi saya, dengan semua peristiwa yang terjadi di seluruh dunia, kami berada di tahap dibandingkan khawatir dengan bagaimana menghadapi tantangan Israel untuk melayani tujuan Palestina, kami harus memperhatikan kepentingan dan keamanan nasional kami sendiri," kata Pangeran Bandar pada Al Arabiya, Kamis (8/10).
Dalam kesempatan ini Pangeran Bandar juga menyerang pemimpin-pemimpin Palestina yang menurutnya lebih memilih Iran dan Turki. Daripada sekutu-sekutu tradisional mereka dari dunia Arab. "Pemain baru masuk ke dalam peta, mengklaim mereka melayani tujuan orang Palestina dan kepentingan Palestina menjadi prioritas mereka dan Yerusalem menjadi tujuan utama mereka," katanya.
"Negara-negara ini seperti Iran dan Turki, dan pemimpin-pemimpin Palestina menilai Teheran dan Ankara lebih tinggi dibandingkan Riyadh, Kuwait, Abu Dhabi, Dubai, Manama, Oman, Muskat dan Kairo," tambah Pangeran Bandar.
Sejak revolusi 1979, Pemerintah Iran sudah menggelar 'Hari Kudus' yang bertujuan untuk menunjukkan dukungan mereka pada Palestina. Sementara itu Presiden Turki Recep Tayyep Erdogan bersumpah 'membebaskan' Yerusalem dari Israel.
Pangeran Bandar menegaskan kembali dukungan Arab Saudi untuk Palestina. Tapi ia menyatakan tidak menganggap pemimpin-pemimpin Palestina mewakili tujuan rakyat Palestina.
"(Bantahan pemimpin-pemimpin Palestina atas dukung Arab Saudi) ini tidak akan mempengaruhi keterikatan kami pada kepentingan rakyat Palestina, tapi sulit untuk percaya pada pemimpin-pemimpin ini akan melakukan sesuatu untuk kepentingan Palestina," katanya.
Ia menjabarkan kegagalan pemimpin-pemimpin Palestina yang menerima dukungan Arab Saudi yang diberikan tanpa pamrih. Pangeran Bandar menguraikan bagaimana kepala Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Yasser Arafat membuat frustrasi Arab Saudi yang ingin mengamankan kesepakatan damai di Washington pada 1970-an dan 1980-an.