Kamis 08 Oct 2020 09:09 WIB

Tembakau Petani Menumpuk, Daya Serap Pabrik Merosot

Penyederhanaan tarif cukai dapat menghasilkan dampak kontra produktif bagi industri.

Petani menjemur tembakau. (Ilustrasi)
Foto: AJI STYAWAN/ANTARA
Petani menjemur tembakau. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Hasil panen tembakau petani di Temanggung, Jawa Tengah, menumpuk di rumah karena pabrik enggan menyerapnya. Kuota pembelian pabrikan menurun sampai 15-20 persen.

Hal itu disampaikan Bupati Temanggung HM Al Khadziq dalam acara webinar yang membahas tentang industri hasil tembakau. "Di Temanggung saat ini harga jual semakin anjlok, selain dari cuaca yang kurang mendukung, kami melihat pabrikan enggan menyerap," ujar dia mengungkapkan.

Bupati lantas mencari tahu penyebab menurunnya serapan tembakau petaninya. Ia mendapati salah satu alasannya karena kenaikan cukai yang membuaat penjualan produk rokok menurun. "Di lapangan, dampaknya hasil panen menumpuk di rumah petani, tidak terbeli," ucapnya.

Al Khadziq berharap pemerintah bisa melindungi daerah-daerah seperti Temanggung, yang setengah penduduknya bergantung pada tembakau. Ia meminta agar kenaikan cukai tidak terlalu tinggi karena sudah terbukti menurunkan kesejahteraan petani.

Agus Parmuji dari Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) menyampaikan hal senada. Bahkan ia meminta agar pemerintah menunda kenaikan cukai yang rencananya akan dilakukan lagi tahun depan. Terlebih di masa pandemi Covid-19 ini, melemahnya serapan komoditas tembakau oleh pabrikan semakin terasa.

"Harganya juga anjlok," katanya berkeluh kesah. "Kami mohon para penyusun kebijakan untuk dapat bersikap adil terutama bagi rakyat kecil seperti petani tembakau. Karena petani juga berhak untuk mendapatkan penghidupan yang layak dan kepastian untuk tetap menyambung hidup."

Agus juga menyoroti rencana penyederhanaan tarif cukai. Sejak awal, ia mengaku menolak rencana tersebut dengan pertimbangan industri hasil tembakau (IHT) terbagi-bagi ke dalam kelompok besar, menengah, dan kecil.

Menurut Agus keberadaan pabrikan yang beragam akan menciptakan kompetisi penyerapan tembakau lokal, khususnya yang kualitasnya sedang. "Karena tembakau kualitas sedang ini paling banyak diserap industri menengah ke bawah. Makin besar kompetisi, hasil tani makin banyak dicari,” ungkapnya.

Forum for Socio-Economic Studies (FOSES) dalam penelitiannya menemukan sejumlah hal terkait aspek ekonomi dan hukum terhadap dampak kebijakan penyederhanaan tarif cukai. Ketua tim riset FOSES, Putra Perdana, mengatakan Struktur pasar IHT bersifat oligopoli ketat.

Saat ini terdapat empat pemain besar yang menguasai pasar rokok di Indonesia dan hanya menyisakan 17,2 persen pangsa pasar untuk pemain kecil-menengah. "Kenaikan cukai memengaruhi harga dan hilangnya varian brand rokok," ujarnnya.

Menurut Putra penyederhanaan tarif cukai dapat menghasilkan dampak kontra produktif bagi industri. Ketidakmampuan para pelaku industri untuk bersaing bisa mengarahkan industri hasil tembakau ke struktur pasar oligopolistik.

Bahkan dalam level yang lebih ekstrem bergeser ke monopoli, di mana hanya ada segelintir pelaku industri yang mendominasi pasar. "Yaitu pelaku industri yang berasal dari golongan atas, yang telah memiliki pangsa pasar yang besar pula," kata Putra menegaskan.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement