REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Umum (Sekum) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Abdul Mu'ti menyampaikan, dengan banyaknya aksi demonstrasi dan penolakan oleh berbagai elemen terhadap UU Cipta Kerja, mestinya pemerintah memahami suasana psikologis dan kekecewaan masyarakat. Perlu dialog dengan elemen masyarakat terutama dengan yang berkeberatan.
"Pemerintah hendaknya tidak menggunakan pendekatan kekuasaan semata-mata," kata Mu'ti melalui pesan tertulis yang diterima Republika.co.id, Kamis (8/10).
Ia menyampaikan, Muhammadiyah akan mempelajari UU Cipta Kerja setelah secara resmi diundangkan oleh pemerintah. Judicial review dilakukan apabila terdapat pasal-pasal yang bertentangan dengan UUD 1945 dan ada kerugian konstitusional akibat pelaksanaan suatu undang-undang.
"Muhammadiyah masih wait and see," ujar Sekretaris Umum (Sekum) Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini.
Sebelumnya, Mu'ti menyampaikan, sejak awal Muhammadiyah meminta DPR untuk menunda, bahkan membatalkan pembahasan Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja. Selain karena masih dalam masa pandemi Covid-19, di dalam RUU itu juga banyak pasal yang kontroversial.
"RUU (Cipta Kerja) tidak mendapatkan tanggapan luas dari masyarakat, padahal seharusnya sesuai UU, setiap RUU harus mendapatkan masukan dari masyarakat, tapi DPR jalan terus, Omnibus Law tetap disahkan," kata Mu'ti melalui pesan tertulis yang diterima Republika.co.id, Rabu (7/10).
Mu'ti menyampaikan, sebaiknya semua elemen masyarakat dapat menahan diri dan menerima keputusan DPR sebagai sebuah realitas politik. Kalau memang terdapat keberatan terhadap UU atau materi dalam UU tersebut dapat melakukan judicial review. Demonstrasi dan unjuk rasa tidak akan menyelesaikan masalah, bahkan akan menimbulkan masalah baru.