REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan hampir dua juta bayi lahir meninggal setiap tahun atau satu bayi setiap 16 detik, Kamis (8/10). Badan ini pun memperingatkan pandemi Covid-19 dapat menambah 200 ribu kematian ke jumlah korban yang digambarkan sebagai bencana.
Laporan bersama UNICEF, Organisasi Kesehatan Dunia, dan Kelompok Bank Dunia menyatakan sekitar 84 persen dari kelahiran mati terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Kondisi ini sebagai akibat dari kurangnya bidan dan kualitas perawatan kesehatan yang buruk. Perbaikan dalam perawatan antenatal dasar dapat menyelamatkan ratusan ribu nyawa setiap tahun.
"Kehilangan anak saat lahir atau selama kehamilan adalah tragedi yang menghancurkan bagi sebuah keluarga, yang sering dialami secara diam-diam, namun terlalu sering, di seluruh dunia," kata Direktur Eksekutif UNICEF, Henrietta Fore, dikutip dari Aljazirah.
Fore menekankan, hilangnya nyawa seorang anak ini menjadi biaya psikologis dan finansial bagi perempuan, keluarga, dan masyarakat. "Bagi banyak ibu, tidak harus seperti ini," ujarnya.
Sekitar setengah dari kelahiran mati di sub-Sahara Afrika dan Asia Tengah dan Selatan terjadi selama persalinan, dibandingkan dengan hanya enam persen di Eropa, Amerika Utara, Australia, dan Selandia Baru. Kematian seperti itu dapat dihindari jika perempuan menerima perawatan yang lebih berkualitas, terutama dari perawat dan bidan terlatih selama kehamilan dan kelahiran.
Laporan tersebut memperingatkan bahwa pandemi dapat mengakibatkan hampir 200 ribu bayi lahir mati tambahan. Laporan ini memproyeksi 50 persen layanan kesehatan di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah terpengaruh oleh respons Covid-19.
Direktur asosiasi UNICEF untuk data dan analitik, Mark Hereward, menyebut bayi di banyak negara akan menderita Covid-19 meskipun ibunya tidak pernah tertular penyakit tersebut. "Pertama, karena meningkatnya kemiskinan secara masif akibat resesi global," ujarnya.
Hereward menyatakan cara lainnya adalah dengan terganggunya pelayanan kesehatan, baik karena petugas kesehatan dipindahkan untuk menangani Covid-19 atau karena masyarakat takut berobat ke klinik. Tanpa tindakan segera, dunia akan menderita 20 juta lebih banyak kelahiran mati pada 2030.
Selain perbedaan yang lebar dalam angka kelahiran mati antara negara kaya dan miskin, laporan tersebut juga menemukan variasi yang signifikan dalam angka kelahiran mati di masing-masing negara. Variasi ini sering dikaitkan dengan status sosial ekonomi.
Contoh saja Nepal, perempuan dari kasta minoritas memiliki tingkat kelahiran mati sebanyak 60 persen lebih tinggi daripada perempuan dari kelas atas. Kanada yang menaungi komunitas Inuit memiliki angka kelahiran mati hampir tiga kali lebih tinggi daripada populasi umum.