REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Staf Khusus dan Juru Bicara Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Taufiqulhadi menepis adanya tudingan yang mengatakan bahwa melalui Undang-undang Cipta Kerja pemerintah dapat dengan semena-mena merampas tanah atau rumah warga negara. Ia memastikan tidak ada pasal dalam UU Cipta Kerja yang membenarkan pemerintah merampas tanah tanah rakyat.
"Soal pengadaan tanah untuk kepentingan umum dalam pasal 121 UU Cipta Kerja sama sekali tidak mengubah makna dan cara penguasaan oleh pemerintah dari UU sebelumnya yaitu UU No 2 tahun 2012. Jika memang ada perubahan, itu hanya penyesuaian istilah saja," kata Taufiqulhadi.
Mantan anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Nasdem itu menjelaskan, dalam UU Cipta Kerja, jika ada lahan dan rumah rakyat yang besertifikat akan ditetapkan untuk kepentingan umum maka akan dilangsungkan konsultasi publik terlebih dahulu sebelum rencana pembangunan fasilitas umum itu dilaksanakan. "Dalam konsultasi tersebut harus semua pihak sepakat. Jika masyarakat pemilik lahan atau rumah yang bersertifikat itu belum sepakat, maka tidak boleh pemerintah membangun proyek umum apapun di atas lahan rakyat tersebut," ujarnya.
Taufiqulhadi menambahkan, dalam proses konsultasi publik tersebut, pemerintah juga akan menggunakan appraisal independen, sehingga praktek pengadaan tanah untuk kepentingan akan terselenggara sangat fair. Harga tanah, bangunan, tanan tumbuh, penghasilan pemilik tanah, jika ada warung misalnya, akan dinilai secara sangat adil oleh appraisal independen tadi.
Ia juga memastikan Negara tidak akan mendegradasi praktik yang telah berlangsung sekarang. "Inilah yang memungkinkan kita membangun tol, pelabuhan, bandara, kereta api dan berbagai infrastruktur lain tanpa gejolak dan tanpa penolakan," jelasnya.
Menurutnya justru UU No. 2 Tahun 2012 sering cenderung menimbulkan masalah. Karena dalam UU tersebut dikenal dengan istilah ganti rugi. Menurut dia, istilah ganti rugi tersebut memunculkan pesimistis.
"Kini penamaan-penamaan dalam pasal UU Cipta Kerja kita sesuaikan untuk menghindari pesimisme rakyat," tuturnya.
Selain itu, terkait penitipan uang ganti rugi di pengadilan atau disebut konsinyiasi dimaksudkan untuk melindungi rakyat yang sedang beperkara. Ia mencontohkan jika harga tanah sudah disepakati, tetapi di atas objek tanah yang sama terjadi klaim tumpang tindih di antara warga. Maka klaim tumpang tundih tersebut harus diselesaikan di pengadilan.
"Agar pembangunan fasilitas umum bisa terus dijalankan, maka UU mengharuskan pemerintah menitipkan uang di pengadilan (konsinyiasi). Jadi konsinyiasi itu adalah melinddungi kepentingan masyarakat," jelasnya.