Jumat 09 Oct 2020 08:27 WIB

Penegak Hukum Diminta Arif Terkait Kasus 'Ibu Kombes'

Febi Nur menagih utang lewat Instagram malah jadi tersangka, namun dibebaskan hakim.

Rep: Antara/ Red: Erik Purnama Putra
Palu hakim di persidangan (ilustrasi).
Palu hakim di persidangan (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, RIAU -- Pengamat hukum pidana Universitas Riau, Erdianto Effendi SH, menyarankan, diperlukan kearifan penegak hukum terhadap Febi Nur Amelia, perempuan yang jadi terkenal gara-gara mengunggah status di Instagram berisi tagihan utang kepada 'Ibu Kombes', Fitriani Manurung. Febi menagih utang Fitriani yang berstatus istri perwira menengah Polda Sumatra Utara dan wakil ketua PDIP Kota Medan, malah dijadikan tersangka, meski oleh hakim divonis bebab.

Penagihan dilakukan Febi lantaran Fitriani tak kunjung melunasi utang sebesar Rp 70 juta. "Pertimbangan hakim membebaskan Febi Nur Amelia dalam kasus tagih hutang Ibu Kombes di Medan, sudah tepat demi keadilan," kata Erdianto di Kota Pekanbaru, Jumat (9/10).

Pendapat demikian disampaikannya terkait Febi Nur Amelia, perempuan yang jadi terkenal gara-gara mengunggah status di Instagram berisi tagihan utang kepada 'Ibu Kombes', Fitriani Manurung, divonis bebas oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Medan, yang diketuai Sri Wahyuni dalam sidang baru-baru ini.

Menurut Erdianto, hukum pidana yang mengatur soal harta benda, seperti pencurian, penipuan, dan penggelapan justru menguatkan aspek hukum perdata di bidang hak milik, di mana setiap orang harus menghormati hak orang lain, yang jika diabaikan sanksi pidana siap menanti.

Hanya saja, menurut dia, sanksi pidana harus berujung dipenjara, seperti kasus ucapan penghinaan ringan yang dilakukan Ahmad Dani, atau pengumuman yang sifatnya memberitahu publik tentang keluhan layanan publik "Harus dipertimbangkan mana yang lebih dirugikan, pribadi atau publik dalam suatu celotehan di medsos," kata Erdianto.

Erdianto memandang, hukum pidana harus sejalan dengan hukum perdata bukan sebaliknya, hukum pidana seakan melawan kaedah hukum perdata seperti dalam kasus tagih hutang tersebut. "Secara nilai moral dan asas hukum, setiap yang berhutang wajib melunasi bahkan dalam agama diajarkan hutang akan terbawa sampai mati," ujar Erdianto.

Meski begitu, dalam praktik banyak orang yang berhutang sulit memenuhi kewajibannya. Janji manis tinggallah janji. Orang yang ditagih utangnya malah jadi memusuhi si peminjam, bahkan menyerang balik dengan melakukan kekerasan.

Sementara si pemberi pinjaman malah dikesankan sebagai orang yang jahat yang jika membalas dapat dianggap melakukan kekerasan dan terancam pidana. Kadang si pemberi hutang kehilangan cara menagih utangnya.

"Di samping itu tidak setiap penggunaan media sosial harus dipandang sebagai kejahatan. Harus dipahami secara progresif bahwa ada perubahan zaman dan perubahan gaya hidup. Tidak harus semua pernyataan di medsos dipandang sebagai kejahatan," katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement