REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Halal Watch (IHW) mengkritisi salah satu pasal dalam Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja (Cilaka). Pasal yang dianggap IHW melemahkan peran ulama itu ada di Pasal 35A ayat 2 UU Omnibus Cilaka klaster Jaminan Produk Halal.
Pasal tersebut menegaskan apabila MUI tidak dapat memenui batas waktu telah ditetapkan dalam proses sertifikasi halal, maka BPJPH dapat menerbitkan sertifikat halal.
"Ini dapat dikatakan kekuasaan negara mengkoptasi kewenangan ulama," kata Direktur Eksekutif IHW Ikhsan Abdullah, Jumat (9/10).
Menurutnya, hal tersebut merupakan sesuatu yang tidak pernah terjadi dalam sejarah perundangan-undangan di Indonesia. Bahkan di masa penjajahan, Belanda tidak mau masuk ke wilayah yang sangat sensitif yang melibatkan peran ulama. Namun, dengan adanya UU Omnibus Jaminan Halal, peran ulama disepelekan oleh kekuasaan negara.
Menurut dia, dalam beberapa hal masyarakat patut bersyukur hasil final dari RUU Cipta kerja terkait Jaminan Produk Halal mengalami perbaikan, khususnya dalam hal fatwa halal. Namun ada sejumlah isu yang masih menjadi perdebatan di antaranya perihal ketentuan mengenai sertifikasi auditor halal, akreditasi lembaga pemeriksa halal (LPH) dan ketentuan kerjasama dengan lembaga sertifikasi halal internasional serta sistem jaminan halal yang memposisikan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) menjadi badan yang super body.
"Sekaligus menempatkan MUI seperti menjadi subordinat atau bawahan BPJPH dalam konteks pelaksanaan sistem jaminan halal," katanya.