Jumat 09 Oct 2020 15:11 WIB

UU Cipta Kerja Berpotensi Mengurangi Penerimaan Negara

Langkah pemerintah menurunkan tarif PPh Badan perlu dikritisi.

Rep: Retno Wulandhari/ Red: Friska Yolandha
Undang-undang (UU) Cipta Kerja klaster perpajakan dinilai dapat berpotensi mengurangi penerimaan negara. Beberapa pasal pada omnibus law perpajakan sudah masuk ke dalam UU 2/2020, seperti penurunan pajak penghasilan (PPh) Badan dan pungutan pajak transaksi elektronik.
Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Undang-undang (UU) Cipta Kerja klaster perpajakan dinilai dapat berpotensi mengurangi penerimaan negara. Beberapa pasal pada omnibus law perpajakan sudah masuk ke dalam UU 2/2020, seperti penurunan pajak penghasilan (PPh) Badan dan pungutan pajak transaksi elektronik.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Undang-undang (UU) Cipta Kerja klaster perpajakan dinilai dapat berpotensi mengurangi penerimaan negara. Beberapa pasal pada omnibus law perpajakan sudah masuk ke dalam UU 2/2020, seperti penurunan pajak penghasilan (PPh) Badan dan pungutan pajak transaksi elektronik. 

Ekonom The Prakarsa, Cut Nurul Aidha, mengatakan langkah pemerintah menurunkan tarif PPh Badan dari 25 persen menjadi 22 persen perlu untuk dikritisi. Menurutnya, Pemerintah tidak perlu menurunkan tarif PPh Badan. 

Baca Juga

"Pasalnya, tren penerimaan negara terus menurun dari tahun ke tahun sementara kita perlu memobilisasi sumber pembiayaan pembangunan agar dapat memenuhi layanan dasar dan jaminan sosial yang mensejahterakan rakyat," kata Cut melalui keterangan resminya, Jumat (9/10). 

Penurunan tarif PPh Badan ini didasari alasan untuk menarik investasi masuk ke Indonesia sehingga akan menggerakkan ekonomi. Cut melihat, alasan ini kurang tepat karena yang paling utama yang perlu dilakukan adalah memperbaiki penegakan hukum atas praktik korupsi, perbaikan sistem kemudahan berusaha, perizinan, kontrak bisnis, dan sistem pelaporan dan pembayaran pajak untuk badan usaha. 

"Dengan itu, maka investor akan yakin untuk berinvestasi di Indonesia," tegasnya.

Klaster perpajakan di dalam UU Cipta Kerja memuat pasal tentang Pajak Penghasilan (PPh) atas dividen di luar negeri. Pada pasal 111 disebutkan bahwa dividen yang berasal dari luar negeri oleh pemilik Indonesia tidak dipajaki apabila ditanamkan dalam bentuk investasi di Indonesia atau digunakan untuk mendukung kebutuhan bisnis lainnya di Indonesia dalam jangka waktu dan memenuhi persyaratan tertentu. 

Penghapusan PPh atas dividen ini dapat mendorong penempatan dana yang lebih produktif di Indonesia dari pemilik modal dan pengenaan persyaratan terkait pengecualian PPh atas dividen ini dapat mengubah rezim pajak Internasional Indonesia menjadi territorial. Namun, Cut menilai, penghapusan PPh atas dividen tidak selalu menjamin repatriasi atau pengembalian dana yang diparkir di luar negeri ke dalam negeri dan juga tidak menjamin berkurangnya risiko penghindaran pajak. 

Cut memberikan catatan khusus perihal pajak transaksi elektronik yang diatur dalam UU 2/2020. Menurutnya, langkah pemerintah memperluas basis pajak ke sektor ekonomi digital tersebut perlu diapresiasi. 

"Ke depan, pemerintah perlu menyusun langkah yang lebih jelas dan terukur agar mampu optimal mengejar potensi penerimaan negara dari bisnis digital," tutur Cut.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement