REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Undang-undang (UU) Cipta Kerja klaster perpajakan dinilai dapat berpotensi mengurangi penerimaan negara. Beberapa pasal pada omnibus law perpajakan sudah masuk ke dalam UU 2/2020, seperti penurunan pajak penghasilan (PPh) Badan dan pungutan pajak transaksi elektronik.
Ekonom The Prakarsa, Cut Nurul Aidha, mengatakan langkah pemerintah menurunkan tarif PPh Badan dari 25 persen menjadi 22 persen perlu untuk dikritisi. Menurutnya, Pemerintah tidak perlu menurunkan tarif PPh Badan.
"Pasalnya, tren penerimaan negara terus menurun dari tahun ke tahun sementara kita perlu memobilisasi sumber pembiayaan pembangunan agar dapat memenuhi layanan dasar dan jaminan sosial yang mensejahterakan rakyat," kata Cut melalui keterangan resminya, Jumat (9/10).
Penurunan tarif PPh Badan ini didasari alasan untuk menarik investasi masuk ke Indonesia sehingga akan menggerakkan ekonomi. Cut melihat, alasan ini kurang tepat karena yang paling utama yang perlu dilakukan adalah memperbaiki penegakan hukum atas praktik korupsi, perbaikan sistem kemudahan berusaha, perizinan, kontrak bisnis, dan sistem pelaporan dan pembayaran pajak untuk badan usaha.