Jumat 09 Oct 2020 16:55 WIB

Penyebar Hoaks, Pelaku Aksi Diamankan, dan Diamnya Presiden

Publik berharap Presiden Jokowi muncul menjelaskan urgensi UU Ciptaker.

Sejumlah pengunjuk rasa yang menolak UU Cipta Kerja berada di Gedung Parkir Barang Bukti Ranmor di Polda Metro Jaya, Jakarta, Jumat (9/10/2020). Mereka diamankan petugas Kepolisian karena diduga terlibat kericuhan saat unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja pada Kamis (8/10).
Foto: Antara/Galih Pradipta
Sejumlah pengunjuk rasa yang menolak UU Cipta Kerja berada di Gedung Parkir Barang Bukti Ranmor di Polda Metro Jaya, Jakarta, Jumat (9/10/2020). Mereka diamankan petugas Kepolisian karena diduga terlibat kericuhan saat unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja pada Kamis (8/10).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ali Mansur, Zainur Mahsir Ramadhan, Nawir Arsyad Akbar, Arif Satrio Nugroho, Antara

Puing-puing sisa kebakaran Halte Transjakarta di Bundaran HI sudah dibersihkan. Hanya tersisa coretan-coretan vandalisme yang mengutuk adanya UU Cipta Kerja atau UU Ciptaker.

Baca Juga

Pascademo kemarin, Polri menangkap VE (36), terduga penyebar hoaks terkait Undang-undang Omnibus Law Ciptakerja. Hoaks atau berita bohong itu disebar melalui akun Twitter @videlyaeyang.

Salah satunya mengenai uang pesangon hingga upah minimum kota dan kabupaten dihilangkan. Unggahan Twitter tersebut dinilai kepolisian membuat masyarakat terprovokasi setelah melihat hoaks yang disebarkan oleh pelaku.

"Setelah kita melihat bahwa dari undang-undang tersebut ternyata ini adalah hoaks karena tidak benar seperti apa yang disahkan oleh DPR RI," ujar Kepala Divisi Humas Polri Irjen Argo Yuwono dalam keterangannya, Jumat (9/10).

Menurut Argo, penangkapan itu dilakukan di Andani Kost Jalan Masjid Baiturrahman Mawar nomor 85, Kelurahan Karampuan, Kecamatan Panakukang, Kota Makasar, Sulawesi Selatan, pada Kamis (8/10) pukul 11.30 WITA. Motifnya adalah karena rasa kekecewaan pelaku yang kini pengangguran.

"Barang bukti yang telah diamankan dari kasus dugaan Penyebaran Berita Bohong/Hoax terkait UU Omnibuslaw melalui akun Twitter @videlyaeyang, antara lain, satu 1 Unit Smartphone Redmi 6 Pro M1805D1SE warna Hitam dengan IMEI 86870603218** dan 1 (satu) buah simcard Telkomsel 628218902**," terangnya.

Atas perbuatannya, pelaku disangkakan tindak pidana menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) dan atau Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.

Aksi massa di Jakarta yang berujung dengan kericuhan dan pembakaran sejumlah fasilitas publik mengakibatkan Polda Metro Jaya telah menangkap sekitar seribu orang. Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Kombes Polisi Yusri Yunus mengatakan orang-orang yang diamankan tersebut merupakan kelompok Anarko yang mencoba memancing keributan. "Itu adalah Anarko-anarko, perusuh itu," kata Yusri, tadi malam.

Pelaku perusakan terhadap sejumlah fasilitas umum dan fasilitas bukan buruh yang melakukan unjuk rasa. Mereka adalah perusuh yang menunggangi unjuk rasa buruh menentang Omnibus Law Cipta Kerja.

"Ini memang perusuh yang menunggangi teman-teman buruh melakukan unjuk rasa ini," ujar Yusri.

Pihak Kepolisian juga mulai menyelidiki aksi perusakan sejumlah fasilitas umum di Ibu Kota dengan mencari para pelakunya. Salah satu yang diperiksa polisi adalah video-video perusakan yang beredar di media sosial.

Tak hanya di Ibu Kota, di sejumlah daerah massa yang diduga terlibat kericuhan ditangkap. Seperti terjadi Bandung, Surabaya, hingga Yogyakarta.

Setelah gelombang demo berangsur surut, publik menanti reaksi dari petinggi negeri. Budayawan sekaligus Rohaniawan Franz Magnis Suseno, mempertanyakan sikap diam Presiden Jokowi yang tidak muncul ke publik setiap ada demo besar.

‘’Saya mengharapkan agar Presiden Jokowi bisa bicara kepada bangsa Indonesia dan menjelaskan mengapa Omnibus Law itu perlu,’’ ujarnya yang biasa disapa Romo Magnis kepada Republika.co.id, Jumat (9/10).

Dia juga meminta presiden, untuk memperhatikan segala keberatan-keberatan yang menyangkut kaum buruh. Selain menegaskan posisi Indonesia, untuk tetap berkomitmen terhadap perlindungan lingkungan hidup.

Romo Magnis mengaku belum mengetahui banyak mengenai Omnibus Law. Namun dirinya menuding, jika Omnibus Law hanya berpihak pada oligarki ekonomis. ‘’Dan menurut saya, itu tidak memperhatikan dua hal penting,’’ sambungnya.

Hal terpenting utama, lanjutnya, karena tak ada pembangunan, kecuali jika ada penanaman modal. Sehingga, hal itu bisa diartikan jika pembangunan tidak lain dari sekedar perangsang untuk menanamkan modal. Hal kedua yang dinilainya penting adalah, banyaknya masyarakat Indonesia ekonomi rendah yang mengandalkan pekerjaan informal.

‘’Mereka paling rentan kehidupannya. Dan dalam memberantas kemiskinan amat perlu kiranya memperbanyak tempat kerja formal bagi mereka; dengan penanaman modal akan menciptakan tempat kerja seperti itu,’’ tambah dia.

Dia mengingat peran 20 tahun lalu dari Kanselir Jerman Gerhard Schroeder. Sambung dia, ada langkah dari SPD (Partai Demokrat Sosial Jerman, kiri) yang saat itu membuat pasar pekerjaan lebih lentur.

‘’Dari situ dia berhasil membuat Jerman di tahun 90-an, yang awalnya sebagai the sick man of Europe, kembali menjadi ekonomi Eropa paling kuat,’’ ungkap dia.

Terpisah, Romo Benny juga menyatakan hal serupa. Meskipun, Presiden Jokowi, kata dia, sempat menyampaikan sikapnya melalui Menteri Polhukam Mahfud MD malam kemarin. Romo Benny mengingatkan, dalam negara demokrasi, ada perbedaan pendapat yang harus diselesaikan tanpa merusak fasilitas umum maupun kekerasan. ‘’Untuk uji materi, proses harus ada di bawah MK,’’ ungkap dia.

Politikus dan mantan Ketua DPR Amien Rais juga meminta Presiden Jokowi bereaksi dengan mencabut UU Ciptaker. "Pak Jokowi, cabut segera undang-undang bahaya itu karena Anda adalah pemrakarsa utama dan pertamanya," ujar Amien.

Ia menjelaskan, UU Ciptaker berpotensi menjadi 'Freeportisasi'. Saat pemodal asing yang diharapkan berbondong-bondong datang, justru akhirnya akan memeras Indonesia.

Sehingga, berpotensi menimbulkan penghancur lingkungan, penipuan pajak, dan pelanggaran. Seperti yang dilakukan oleh Freeport McMoran pada Papua.

"Berkaca pada apa yang terjadi di Freeport McMoran, otoritatif dana pensiun di Swedia, Norwegia, dan New Zealand menarik saham mereka dari Freeport. Karena apa? Karena tidak tahan melihat penghancuran sistematik dan permanen oleh Freeport di Papua," ujar Amien.

Tujuan untuk mendatangkan investasi juga akan sulit, karena terdapat laporan yang menyebut ada 35 investor asing yang mengingatkan Indonesia perihal UU Ciptaker. Karena, regulasi tersebut berpotensi menimbulkan kerusakan alam yang berlangsung secara terus-menerus.

Cendekiawan Islam Ulil Abshar Abdalla berpendapat, ada karakteristik pemerintahan Orde Baru Soeharto yang juga dilakukan pada pemerintahan Jokowi. Karakteristik itu dimulai tindakan aparat yang mengedepankan pendekatan keamanan serta represif terhadap demonstran hingga jurnalis.

"Menurut saya ada kecenderungan makin otoriter pemerintah sekarang ini dan cara-cara yang dipakai oleh pemerintah Orde Baru dulu, sekarang tiba tiba muncul lagi termasuk penggunaan pendekatan keamanan dengan pemrotes dan demonstran," ujar Ulil Abshar dalam sebuah konferensi pers bersama Koalisi Masyarakat Sipil, Kamis (8/10) malam.

Keadaan ini diperparah dengan tidak dibukanya ruang dialog oleh Pemerintah Pusat. Presiden Jokowi yang diharapkan para demonstran justru memilih meninggalkan titik unjuk rasa untuk menengok kawasan lumbung pangan di Kalimantan Tengah.

"Saya khawatir bila pemerintah tidak membuka dialog, menurut saya ini berbahaya. Saya meminta pada pemerintah karena situasi seperti ini presiden layak mengeluarkan Perppu. Saya khawatir akumulasi kemarahan masyarakat," ujar Ulil yang juga aktif di Nahdlatul Ulama (NU) itu.

Upaya pendekatan keamanan yang represif ini, dinilai Ulil Abshar semakin keras dibanding demo-demo di masa sebelumnya. Hal ini, kata dia, menunjukkan negara semakin khawatir dengan para pemrotes.

Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan, apa yang dilakukan Polri pada pendemo RUU Ciptaker sesuai dengan telegram Kapolri dengan nomor STR/645/X/PAM.3.2./2020, yang diterbitkan pada tanggal 2 Oktober 2020 untuk menghalau para pendemo.

"Akibatnya menjatuhkan korban sangat banyak. Telegram itu bahkan menghalangi dan menangkap mereka (demonstran) sebelum melakukan aksi," ujar dia.

Ia melaporkan, banyak peserta aksi ditangkap, bukan hanya di Jabodetabek, tapi juga belasan provinsi di berbagai daerah. Koalisi Masyarakat Sipil masih berupaya menghimpun jumlah peserta yang ditangkap. Ada juga pembubaran massa aksi tanpa alasan. Padahal massa baru boleh dibubarkan bila dia melakukan tindak kekerasan.

"Sedang orasi tiba tiba disemprot gas air mata. Ini memang kalau kita lihat polisi sudah menjadi alat pemerintah untuk mendukung agar Omnibus Law tetap diberlakukan," kata Asfinawati.

"Massa itu dipukul, setelah ditangkap, ditelanjangi, ada yang ditangkap dari siang sampai malam tidak diberi makan, bahkan ada Provokasi perang kelompok. Paramedis diserang gas air mata. Pendamping hukum pun tidak bisa mendampingi, dihalangi untuk masuk dan bertemu," ujarnya.

Asfinawati juga mengecam tudingan Airlangga soal adanya aksi ditunggangi. Menurut dia, tudingan itu adalah fitnah dan sebuah hinaan terhadap pihak- pihak yang menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja melalui berbagai kajian.

"Menteri Airlangga juga menyebutkan ini ada yang menunggangi. Tentu saja itu menghina pemuka agama, masyrakat adat, petani, buruh mahasiswa rakyat miskin kota dan menghina akademisi guru besar yang dengan sadar dan kajian matang menolak Ciptaker," ujar dia.

Tak hanya itu, jurnalis yang telah menunjukkan kartu pers hingga seragam pers dengan landasan UU nomor 40 tahun 1999 juga dianiaya, bahkan ditangkap polisi. Hal ini juga terjadi dalam aksi demonstrasi besar sebelumnya di masa pemerintahan Jokowi.

photo
infografis aturan tenaga kerja dalam UU cipta kerja - (republika)

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement