Chit Su, remaja berusia 15 tahun ini, telah lebih dari setahun terjebak di dalam bilik kontrakannya, mengupasi kulit kepiting bersama sang nenek. Pekerjaan ini ia lakukan sejak ditutupnya sekolah untuk migran asal Myanmar pada tahun lalu di Thailand selatan. Bahkan setelah bekerja bersama dengan neneknya, upah yang mereka hasilkan per harinya masih lebih rendah daripada standar upah minimum.
Sepuluh sekolah untuk para migran di Provinsi Ranong telah ditutup setelah adanya penggerebekan pada bulan Agustus 2019 oleh pejabat Thailand. Razia ini menargetkan guru asal Myanmar yang bekerja tanpa dokumen yang memadai. Para aktivis mengatakan bahwa penutupan sekolah telah mendorong banyak mantan anak muridnya bekerja secara ilegal di industri makanan laut.
"Pekerjaan ini sulit ... jika saya belajar, saya nantinya bisa melakukan pekerjaan yang tidak terlalu sulit," kata Chit Su, namanya telah diubah untuk melindungi identitasnya. "Tetapi sekarang, jika saya tidak membantu nenek, kami tidak punya uang."
Dia bersama neneknya menghasilkan 240 baht (sekitar Rp 113.000) per hari. Upah ini jauh di bawah standar minimum di Ranong yang besarnya mencapai 315 baht (Rp 149 ribu). Selain untuk kebutuhan sehari-hari, uang itu sebagian besar dipakai untuk melunasi utang keluarga mereka yang jumlahnya mencapai 8,000 baht (Rp 3,77 juta).
Berkerja untuk bertahan hidup
Chit Su termasuk di antara 2.800 anak asal Myanmar yang terkena dampak penggerebekan di pusat pembelajaran migran, Ranonghtarni, tahun lalu yang memaksa sekolah tersebut ditutup. Lebih dari 30 orang guru asal Myanmar juga telah ditangkap.
Sebagai akibat razia ini, sembilan pusat pendidikan lainnya yang didanai oleh badan amal dan donatur swasta di Ranong segera menghentikan kelas mereka karena khawatir akan dirazia. Hingga kini, hanya satu pusat pendidikan yang telah dibuka kembali.
Kementerian Pendidikan mengatakan sedang melacak mantan siswa yang masih tidak menghadiri kelas untuk kemudian mendaftarkan mereka di sekolah umum, program pendidikan nonformal, dan pusat-pusat pembelajaran masyarakat.
Seperti Chit Su, banyak mantan siswa ini sekarang bekerja di pasar ikan swasta atau di rumah-rumah mengupas kepiting skala industri yang bernilai miliaran dolar. Industri ini tengah diawasi secara global atas tuduhan mempekerjakan buruh asal Thailand dan buruh migran secara tidak manusiawi. Thomson Reuters Foundation mewawancarai 11 buruh anak di Ranong yang bekerja tanpa izin di industri ini.
Para aktivis hak-hak anak mengatakan penutupan sekolah pada tahun lalu telah menjerumuskan banyak anak dari sekolah migran ke dalam pekerjaan ilegal dengan bayaran rendah. Kini, pandemi COVID-19 meningkatkan risiko bagi para buruh anak.
"Konsekuensi (penutupan sekolah) jauh lebih parah (dari yang diperkirakan para pejabat) - ini mendorong timbulnya pekerja anak di industri perikanan," ujar Adisorn Kerdmongkol, koordinator Kelompok Kerja Migran, sebuah jaringan LSM yang membantu para migran. "Ini mengkhawatirkan ... dan lebih parah dengan adanya COVID-19," tambahnya.
Sebelumnya PBB telah memperingatkan bahwa jutaan anak di seluruh dunia terpaksa bekerja karena sekolah tutup dan keluarga mereka berjuang untuk bertahan hidup di tengah terpuruknya ekonomi akibat pandemi.
Masih perdebatkan kategori ‘pekerjaan berbahaya’
Di Thailand, pandemi telah menyebabkan pergeseran dari pengolahan makanan laut di pabrik atau gudang pengupas menjadi pekerjaan rumahan yang seringnya dilakukan oleh para migran. Di salah satu lingkungan yang sebagian besar dihuni oleh migran asal Myanmar di distrik Muang Ranong, tidak jarang ditemui anak-anak berusia 10 tahun bekerja menggunakan benda-benda tajam untuk membantu keluarga mereka mengupas kepiting yang setiap hari dibawa oleh pemasok makanan laut.
Thailand melarang anak berusia di bawah 15 tahun untuk bekerja, serta melarang anak berusia di bawah 18 tahun untuk melakukan pekerjaan berbahaya. Kementerian Tenaga Kerja Thailand tidak secara khusus mencantumkan pemrosesan makanan laut sebagai pekerjaan berbahaya, tetapi para aktivis hak anak mengatakan pekerjaan ini masuk dalam kategori tersebut. Dua pengacara ketenagakerjaan mengatakan bahwa bahaya atau tidak sepenuhnya tergantung pada apa sebenarnya yang dikerjakan.
Meski ada larangan mempekerjakan buruh anak, saat ini terdapat sedikitnya 177.000 anak berusia antara lima hingga 17 tahun yang bekerja sebagai buruh di Thailand, tiga perempatnya bekerja di lingkungan pekerjaan yang dikategorikan berbahaya. Demikian menurut sebuah survei pemerintah dan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 2018. Meski demikian, kepala salah satu badan utama yang mewakili produsen makanan laut Thailand mengatakan bahwa industri tersebut lebih prihatin tentang kondisi buruh kerja paksa daripada buruh anak.
"Saya lebih suka bersekolah"
Tidak jelas berapa banyak pusat belajar migran yang beroperasi karena kebanyakan tidak terdaftar, demikian menurut Kementerian Pendidikan Thailand. Mereka tidak didanai oleh pemerintah dan di sebagian besar wilayah anak-anak diajar dalam bahasa mereka sendiri, bukan bahasa Thai.
Sejak penutupan pusat-pusat pembelajaran di Ranong, beberapa anak sudah terdaftar di sekolah umum Thailand, sementara yang lain belajar di sistem pendidikan nonformal seperti belajar di kamp-kamp migran, menurut Save the Children. Tetapi badan amal tersebut memperkirakan ada sekitar 500 anak yang telah putus sekolah.
Di seluruh Thailand, anak-anak migran sering putus sekolah antara usia 10 dan 12 tahun, sebagian besar karena kendala keuangan, menurut Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM).
"Anak-anak migran merupakan kelompok terbesar anak-anak putus sekolah di Thailand," kata Maria Moita, pelaksana tugas kepala misi IOM untuk Thailand, menyebutkan jumlahnya sekitar 200.000 anak.
Dari 10 pusat pembelajaran yang ditutup, hanya satu yang dibuka kembali yaitu yang dikelola oleh Marist Asia Foundation, setelah mendapatkan izin kerja untuk guru asal Myanmar dan menambahkan kurikulum Thailand.
"Pemerintah tidak melakukan apa pun untuk membantu anak-anak ini. Kita seolah mengabaikan mereka," kata Prasit Rugklin, sekretaris badan amal Marist Asia Foundation. Namun seorang pejabat senior di Kementerian Pendidikan mengatakan bahwa pihak berwenang “tidak akan meninggalkan anak-anak ini."
Var Say Hta, seorang biksu Myanmar yang mengelola sekolah Ranonghtarni, yang memiliki lebih dari 1.100 murid sebelum penggerebekan, mengatakan setidaknya 150 mantan muridnya yang berusia 15 atau lebih sekarang bekerja. Salah seorang mantan murid yang bernama Soe Win, 17, bekerja selama 12 jam sehari di pasar ikan swasta.
Upahnya sebesar 300 baht (sekitar Rp 142 ribu) per hari. Hari libur yang ia dapat dalam sebulan cuma dua hari. Dan saban harinya, Soe Win menghabiskan waktu berjam-jam mengemas es ke dalam kotak ikan dan memuatnya ke truk. Soe Win mengatakan lebih suka bersekolah.
"Masalahnya, hanya ibu saya yang bekerja karena ayah saya lumpuh," ujar Soe Win yang namanya juga diubah untuk melindungi identitasnya
"Saya ingin belajar karena di sekolah lebih menyenangkan."
ae/vlz (Thomson Reuters Foundation)