REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Infeksi virus corona dapat membuat pria tidak subur dengan merusak sel testis mereka. Peneliti di Israel menemukan bahwa jumlah sperma pria yang terinfeksi berkurang setengahnya 30 hari setelah mereka dinyatakan positif Covid-19.
Mereka juga menemukan bahwa motilitas sperma terhambat, yang artinya mereka tidak bisa berenang dengan baik. Para ahli juga mengatakan, kerusakan itu diamati pada pria yang hanya menderita virus corona ringan.
Penelitian mereka telah dipublikasikan di jurnal Fertility and Sterility, tetapi belum belum ditinjau sejawat, dilansir The Sun, Sabtu (10/10). Dr Dan Aderka dari Sheba Medical Center yang memimpin penelitian tersebut mengatakan bahwa virus corona dapat merusak testis dengan mengikat sel reseptor ACE2.
Reseptor yang juga ditemukan di jantung, paru-paru, dan usus ini diyakini bertindak sebagai pintu gerbang bagi virus corona tipe baru, SARS-CoV-2, yang menjadi penyebab Covid-19, untuk masuk ke dalam tubuh. Dr Aderka mengatakan, penelitiannya terhadap 12 pasien yang meninggal setelah tertular Covid-19 mengungkapkan bahwa virus terdeteksi di 13 persen sperma mereka.
Dr Aderka mengatakan bahwa ada penurunan 50 persen dalam volume, konsentrasi, dan motilitas sperma pada pasien dengan penyakit sedang, bahkan 30 hari setelah diagnosis. Namun, para ahli lain mengeklaim bahwa itu lebih mungkin disebabkan oleh demam yang adalah salah satu gejala utama Covid, daripada penyebab langsung infeksi.
Para ilmuwan mengatakan bahwa demam dapat mempersulit tubuh untuk memproduksi sperma, tetapi produksinya pulih setelah infeksi berlalu. Profesor Allan Pacey, mantan ketua British Fertility Society, mengatakan bahwa orang yang terkena virus corona kemungkinan sedang dalam keadaan tidak sehat. Serangan influenza, misalnya, juga akan menyebabkan penurunan jumlah sperma untuk sementara.
"Pertanyaannya adalah apakah itu permanen dan apakah itu dapat dipulihkan." kat Prof. Pacey.
Terkait temuan tersebut, Prof Pacey mengingatkan bahwa pasien yang meninggal akan menderita infeksi yang lebih parah daripada rata-rata pria yang positif Covid-19. Mereka juga cenderung lebih tua, yang akan menyebabkan jumlah sperma mereka turun.
Pada bulan April, para peneliti mengeklaim bahwa testis dapat mengandung virus corona karena protein ACE2. Tetapi para ahli pada saat itu meragukan temuan awal.
Profesor virologi Ian Jones dari University of Reading mengatakan virus corona perlu berjalan di aliran darah untuk mencapai testis, yang menurutnya tidak secara umum seperti yang dilakukan virus.
"Situs utama replikasi virus adalah saluran pernapasan dan untuk mencapai tempat lain, virus harus berjalan dalam aliran darah. Ini telah dilaporkan untuk virus, tetapi tidak secara umum yang dilakukan oleh virus corona," kata Prof. Jones.
Dalam studi yang berbeda yang lagi-lagi merupakan pracetak dan tidak ditinjau oleh sejawat, menurut Prof. Jones, sejumlah kecil laki-laki dites air mani mereka untuk mengetahui keberadaan virus corona saat mereka memulihkan diri dari virus.
"Ada juga sampel testis dari pasien lain yang sayangnya sudah meninggal.Tak satu pun dari sampel yang dites positif Covid-19 menunjukkan bahwa saluran genital laki-laki bukanlah reservoir penting untuk virus," ujarnya.
Sebuah laporan kasus terpisah di AS memperingatkan bahwa virus corona dapat menyebabkan testis pria membengkak. Kabar itu datang setelah seorang pria berusia 37 tahun yang sebelumnya sehat pergi ke A&E di Texas dengan pembengkakan dan ketidaknyamanan di skrotumnya.
Pria itu dinyatakan positif Covid-19 sekitar lima hari sebelum gejala pertamanya muncul. Sekitar sepekan kemudian, dia mengalami nyeri testis.
Melalui laporan di American Journal of Emergency Medicine, petugas medis mengatakan bahwa Covid-19 telah merusak spermatosit pasien tersebut. Spermatosit bertugas menjaga sperma tetap sehat.
Petugas medis yakin virus tersebut menggunakan reseptor ACE2 pada sel Leydig (yang ada di testis) untuk masuk ke tubuh pria itu. Namun, mereka mengakui bahwa kasus seperti ini sangat jarang terjadi. Ada laporan serupa lainnya tentang nyeri testis pada pasien Covid-19, tetapi belum ada penelitian resmi tentang kaitannya.