Ahad 11 Oct 2020 01:50 WIB

Polisi Tangkap 149 Peserta Demo Anarkis di Magelang

Sebagian besar peserta aksi masih anak-anak, pelajar SMP dan SMA/STM.

Personel kepolisian menembakkan gas air mata ke arah pengunjuk rasa saat demonstrasi menentang Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja di Kota Magelang, Jawa Tengah, Jumat (9/10/2020). Unjuk rasa tersebut berakhir ricuh dan mengakibatkan sejumlah fasilitas umum rusak.
Foto: Antara/Anis Efizudin
Personel kepolisian menembakkan gas air mata ke arah pengunjuk rasa saat demonstrasi menentang Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja di Kota Magelang, Jawa Tengah, Jumat (9/10/2020). Unjuk rasa tersebut berakhir ricuh dan mengakibatkan sejumlah fasilitas umum rusak.

REPUBLIKA.CO.ID, MAGELANG -- Kepolisian Resor Magelang Kota, Jawa Tengah, menangkap sebanyak 149 pelaku demo anarkis yang terjadi di Jalan Raya Magelang-Yogyakarta, tepatnya di depan Artos Mal Magelang. Kapolres Magelang Kota AKBP Nugroho Ari Setyawan mengatakan semalam pihaknya menangkap 149 peserta demo yang berujung kericuhan pada Jumat (9/10) sore.

"Sebagian besar mereka masih anak-anak, pelajar SMP dan SMA/STM. Setelah diminta keterangan mereka kami pulangkan setelah dijemput oleh orang tuanya," katanya usai menghadiri simulasi pemungutan dan penghitungan suara yang diselenggarakan KPU RI di Kota Magelang, Sabtu, (10/10).

Baca Juga

Seperti diketahui akibat demo yang berlangsung anarkis tersebut sejumlah fasilitas umum dirusak, antara lain lampu hias, papan nama DPRD Kota Magelang, rambu lalu lintas, pintu sebuah ATM, dan kaca Gedung Wiworo Wiji Pinilih. Berdasarkan keterangan mereka, kata Nugroho, anak-anak tersebut digerakkan dengan tagar STM bergerak secara nasional.

"Dengan tagar itu menggerakkan mereka dalam setiap kegiatan demo di seluruh Indonesia. Ini kewaspadaan untuk kita semua, karena anak-anak ini tidak tahu apa-apa, tetapi mereka hanya tahu apa yang dikatakan temannya, apa kata medsos, apa yang dikatakan harus melakukan kekerasan dan sebagainya," katanya.

Ia menyampaikan hal ini yang perlu bersama-sama untuk melakukan pencegahan. Menurut dia untuk mendeteksi awal keberadaan mereka agak repot karena informasi mereka melalui media sosial (medsos).

"Hal ini mirip demo-demoa yang terjadi di Hongkong dan Hongkong pun juga susah untuk melakukan deteksi lebih awal terhadap situasi seperti itu," katanya.

Ia menyampaikan pihaknya tahu ada tagar itu, tetapi siapa yang datang akibat tagar itu juga tidak tahu. "Titik kumpul juga tidak terdeteksi, karena mereka sporadis. Sebenarnya kita proses dari awal saat anak-anak pada datang satu, dua, tiga sudah diamankan," katanya.

Ia menuturkan menyampaikan aspirasi atau pendapat itu harus argai, tetapi harus bisa melihat situasi, karena ada kelompok-kelompok yang ingin menunggangi aksi demo.

"Oleh karena itu saya mengimbau kepada peyelenggara demonstrasi untuk semaksimal mungkin melakukan aksinya tidak mengumpulkan massa, karena dengan adanya pengumpulan massa tidak bisa dikontrol," katanya.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement