REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Ekonomi Energi UGM, Fahmi Radhi menilai dengan disahkannya UU Cipta Kerja malah membuat ketidakpastian investasi di sektor migas. Ia menilai hal ini karena dalam klausul UU Cipta Kerja bertentangan dengan UU Migas.
Ia menjelaskan Pada klaster Migas UU Cipta Kerja pasal 5 ayat (1) mengatur bahwa kegiatan usaha minyak dan gas bumi dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. Padahal UU Migas Pasal 6 ayat (1) mengatur bahwa kegiatan usaha hulu migas dilaksanakan melalui Kontrak Kerja Sama.
"Perubahan rezim perizinan, dari kontrak kerja sama menjadi izin usaha, akan menimbulkan ketidakpastian bagi investor migas. Dengan perubahan tersebut, apakah masih menggunakan izin kotrak kerja sama seperti diatur dalam UU Migas 22/2001 atau menggunakan izin usaha seperti diatur dalam UU Cipta Kerja," ujar Fahmi, Ahad (11/10).
Selain tidak menjelaskan mekanisme izin usaha Migas, UU Cipta Kerja juga tidak mengatur kelembagaan yang berwenang memberikan izin. Sesuai UU Migas 22/2001, izin kontrak kerja sama investasi Migas selama ini diberikan oleh SKK Migas atas nama Pemerintah sebagai pemegang kuasa, dengan menggunakan rezim kontrak cost recovery atau gross split.
"BUMN Khusus memang diatur dalam UU Cipta Karya, tetapi tidak menyebutkan bahwa apakah BUMN Khusus itu menggantikan peran SKK Migas? Tidak diaturnya kelembagaan yang memberikan izin akan semakin menimbulkan ketidakpastian investasi Migas di Indonesia," ujar Fahmi.
Alih-alih menciptakan kepastian, UU Cipta Kerja, yang bertentangan dengan UU Migas 22/2001 terkait perubahan perizinan dari izin kontrak kerja sama menjadi izin usaha, justru akan memicu ketidakpastian investasi migas. Dengan adanya ketidakpastian investasi migas jangan harap investor migas akan berinvestasi di Indonesia.
"Harapan untuk menaikkan lifting migas dan membuka lapangan pekerjaan baru di hulu migas melalui UU Cipta Kerja tidak akan pernah terwujud," ujar Fahmi.