REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Cholil Nafis menyampaikan, Islam membolehkan aksi demonstrasi untuk menyatakan pendapat ataupun protes. Ini menjadi sarana meluruskan berbagai hal yang perlu diluruskan.
"Demonstrasi adalah menyampaikan pendapat, protes, ini sah di dalam Islam, untuk berdialog dan meluruskan hal-hal yang tidak lurus. Disebutkan di dalam hadits, 'Sebaik-baik kita jihad adalah menyampaikan suatu kebenaran di depan pemimpin yang tidak adil'," ujar dia kepada Republika.co.id, Ahad (11/10).
Namun, Kiai Cholil mengingatkan tidak melakukan demonstrasi yang merusak dan merusak tatanan. Tentu ini dilarang dalam Islam. Lantas bagaimana cara menyatakan pendapat di zaman Rasulullah? Apakah aksi demonstrasi kala itu sudah ada?
Kiai Cholil menerangkan, demonstrasi saat itu tidak ada, dalam arti datang ke jalanan untuk menyatakan pendapat. Tetapi, menyampaikan pendapat secara substansi terjadi di zaman Rasulullah. Misalnya, ketika masyarakat Yaman datang dari daerahnya untuk menemui Rasulullah lalu mengadu tentang Muaz bin Jabal yang menjadi imam sholat.
"Jadi substansi menyampaikan pendapat di zaman Rasul itu ada, tetapi dengan cara di jalanan, kumpul di jalanan, tentu tidak ada di zaman itu," ucap pendiri Yayasan Investa Cendekia Amanah itu.
Sebab, ruang bertemu atau ruang menyampaikan pendapat di zaman Rasulullah dan sahabat itu mudah. "Seperti halnya kita mengajukan kepada DPR untuk bertemu menyampaikan pendapat, kalau itu dipermudah dan bisa dialog, tentu tidak akan ada demonstrasi di jalanan," ujarnya.
Kiai Cholil berpandangan, orang berdemonstrasi di jalanan karena tidak bisa menyampaikan langsung aspirasinya kepada pemerintah maupun DPR. Dengan begitu, mereka turun ke jalan.
"Sebetulnya tanpa di jalanan, ketika bisa dengan dialog, itu akan lebih baik. Tidak semua persoalan dilakukan dengan unjuk rasa, tetapi bisa saja dengan iklim musyawarah," katanya.
Tentu saja, dalam hal menyampaikan pendapat itu harus dilakukan dengan cara yang santun dan tepat sasara, yakni kepada siapa harusnya pendapat itu disampaikan. Pendapat itu juga harus disampaikan secara konstruktif.
"Tidak merusak bangunan, bakar-bakar, apalagi sampai kerusuhan, tentu ini tidak boleh," ujarnya.