REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum dari Universitas Padjadjaran Profesor Romli Atmasasmita menilai Omnibus Law UU Cipta Kerja mencegah potensi korupsi di birokrasi. Hal itu terlihat dari upaya undang-undang tersebut memangkas perizinan berinvestasi.
Selama ini, pengusaha selalu disulitkan dengan banyaknya meja birokrasi yang harus dilalui saat akan membuka usaha dan tiap meja perizinan tersebut juga membuka peluang tindakan korupsi. "Kalau birokrasi penuh suap ini tidak dibasmi, investasi apa pun tidak akan mau. Presiden Jokowi ke luar negeri buat cari investor juga bakalan percuma. Karena meja birokrasi yang panjangrentan maladministrasi, korupsi, dan suap," kata Romli dalam pernyataannya, di Jakarta, Ahad (11/10).
Dalam UU Cipta Kerja, menurut Romli, prosedur yang panjang tersebut telah disederhanakan sehingga peluang bagi pejabat maupun birokrat nakal akan sulit dilakukan. Hal tersebut, kata dia, membuat sejumlah pihak gusar sehingga melakukan penolakan terhadap UU Cipta Kerja.
Dia menyebutkan, selama ini banyak pembangunan terkendala akibat ulah segelintir orang yang terjaring operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Romli menduga itu yang menjadi latar belakang mengapa akhirnya proses perizinan dipangkas dan dipercepat.
"Sekarang, kalau ada proyek pembangunan sedang berjalan, terus tiba tiba ada pejabat atau birokrat ketangkap. Kan proyeknya berhenti. Padahal, nilai investasinya besar. Proyek itu berhenti cuma gara-gara segelintir orang korupsi," katanya.
Namun, Romli mengingatkan, pemusatan perizinan itu tetap harus mendapatkan pengawasan yang ketat. Jangan sampai, kata dia, upaya pemusatan perizinan itu justru menjadi ladang basah di pemerintah pusat, sehingga KPK, Kejaksaan, dan Ombudsman harus mencegah hal tersebut terjadi.
"Ini di pusatnya harus bener, jangan sampai kena korupsi lagi. Ini peran KPK, Kejaksaan, dan Ombudsman. Ombudsman harus bisa memberikan masukan ke Presiden Jokowi soal penerapan aturan ini," katanya.