REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Milisi Kataib Hezbollah menyatakan akan menangguhkan serangan roket terhadap pasukan Amerika Serikat (AS) dengan syarat pemerintah Irak memberikan jadwal untuk penarikan pasukan asing itu, Ahad (11/10). Peringatan ini bisa menahan sementara waktu Irak menjadi medan pertempuran setelah AS mengancam serangan-serangan yang terjadi.
"Faksi-faksi tersebut telah mengajukan gencatan senjata bersyarat," kata juru bicara Kataib Hezbollah, Mohammed Mohi.
Juru bicara salah satu kelompok milisi paling kuat yang didukung Iran di Irak ini menyatakan tidak memberikan tenggat waktu yang ditentukan atas permintaannya. Namun jika pasukan AS bersikeras untuk tetap tinggal, mereka akan melancarkan lebih banyak serangan kekerasan.
"Ini mencakup semua faksi perlawanan (anti-AS), termasuk mereka yang telah menargetkan pasukan AS," kata Mohi.
Washington saat ini secara perlahan-lahan mengurangi 5.000 pasukan di Irak. Bulan lalu, AS mengancam akan menutup kedutaannya kecuali pemerintah Irak mengendalikan milisi yang bersekutu dengan Iran yang menyerang tempat-tempat AS dengan roket dan bom pinggir jalan.
Mohi mengatakan roket yang ditembakkan ke pasukan AS dan kompleks diplomatik adalah pesan dan serangan yang lebih buruk bisa menyusul. Pejabat AS sebelumnya telah menyalahkan Kataib Hezbollah atas puluhan serangan roket terhadap instalasi Washington di Irak.
Kelompok milisi yang menamakan diri "Komisi Koordinasi Perlawanan Irak" menerbitkan pernyataan yang menyarankan akan menangguhkan serangan dengan imbalan rencana yang jelas bagi pasukan AS untuk pergi. Mohi tidak merinci kelompok mana yang telah menyusun pernyataan itu. Dia hanya mengatakan pemerintah Irak harus menerapkan resolusi parlemen pada Januari yang menyerukan penarikan pasukan asing.
Irak adalah salah satu dari sedikit negara yang memiliki hubungan dekat dengan AS dan Iran. Keduanya memberikan dukungan militer untuk membantu mengalahkan ISIS yang dipukul mundur dalam perang tiga tahun setelah merebut sepertiga dari Irak pada 2014.
Rakyat Irak telah lama khawatir negara mereka bisa menjadi medan pertempuran proxy, terutama sejak Washington membunuh Jenderal Iran Qassem Soleimani dalam serangan pesawat tak berawak di bandara Baghdad pada Januari.
Abu Mahdi al-Muhandis, seorang pemimpin Irak milisi pro-Iran, juga meninggal dunia dalam serangan yang sama. Faksi yang diperintahkan Soleimani dan Muhandis, termasuk Kataib Hezbollah, bersumpah untuk membalas dendam atas peristiwa itu.