REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Temuan pupuk berbahan baku batubara diyakini mampu menaikkan produktivitas komoditas pertanian. Teknologi pupuk batubara disebut bekerja dengan memperbaiki kandungan unsur zat dalam tanah yang terus berkurang akibat budidaya pertanian yang kurang ramah lingkungan.
Penemu pupuk batubara, Raden Umar Hasan Saputra, mengatakan, sistem budidaya pertanian selama ini melakukan kesalahan secara sistematis. Dalam satu siklus pertanaman, terdapat 23 unsur dari tanah yang diserap oleh tanaman. Sementara, hanya tiga unsur yang diberikan kembali ke tanah yakni Nitrogen, Phospor, dan Kalium atau yang biasa disebut NPK.
"Tanah terus menerus kehilangan unsur haranya tanpa dikembalikan, jadi kenapa tanah rusak ya karena ada unsur yang tidak pernah kita kembalikan ke tanah," kata Saputra dalam sebuah webinar, Senin (12/10).
Rusaknya tanah, kata Saputra berdampak kepada kecenderungan produktivitas komoditas pangan yang menurun dari tahun ke tahun. Selain itu, kata dia, kandungan gizi dan mineral hasil pertanian saat ini juga jauh berkurang antara 25-50 persen sejak era sebelum tahun 2000.
Menurut dia, masalah tanah saat ini cukup terlupakan dalam setiap permasalahan pangan yang ada, termasuk di Indonesia. Padahal, keamanan, ketahanan, dan kualitas pangan kian mendesak untuk ditingkatkan seiring meningkatkan kebutuhan makanan."Jadi, kalau mau menaikkan produksi untuk mengatasi rawan pangan, ya sederhananya sembuhkan tanah. Setelah diperbaiki baru akan lebih mudah dalam meningkatkan produksi kita," kata Saputra.
Saputra menjelaskan, hasil uji coba pupuk batubara menunjukkan adanya kenaikan produktivitas tanaman pangan. Pada komoditas padi, misalnya, terjadi kenaikan produktiviitas 37,1 persen dari 4,6 ton per hektare (ha) menjadi 6,2 ton per ha. Pada komoditas jagung, meningkat 31,03 persen dari 7,7 ton per ha menjadi 10,1 ton per ha.
Adapun untuk komoditas sawit yang merupakan tanaman perkebunan juga meningkat 29,8 persen dari 1,1 ton per ha menjadi 1,5 ton per ha.
Uji coba juga digunakan untuk komoditas hortikultura. Saputra mengatakan, penggunaan pupuk batubara meningkatkan produktivitas bawang merah sebesar 42,7 persen dari 9,3 ton per ha menjadi 13,3 ton per ha. Begitu pula dengan tomat yang naik 50 persen dari 36 ton per ha menjadi 54 ton per ha. "Manfaat penggunaan ini adalah terjadi kenaikan produksi. Mengurangi penggunaan pestisida sehingga tanaman semakin sehat," ujarnya.
Saputra menjelaskan, penelitian pupuk batubara telah dimulai sejak 2009 dan berhasil ditemukan pada 2016. Adapun temuan tersebut telah mendapatkan paten di Indonesia pada 11 Januari 2019 dan pada 16 Juni 2020 mendapatkan hak paten di Amerika Serikat melalui United States Patent and Trademark Office (USPTO).
Ia mengklaim, pupuk batubara memiliki kandungan terlengkap untuk tanaman dan mampu menyeimbangkan kembali unsur zat dalam tanah. Saputra pun menjelaskan, menggunakan batubara sebagai bahan baku pupuk karena batubara merupakan tanaman yang telah berbentuk bebatuan fosil.
Secara singkat, batubara yang diambil melalui proses pemotongan rantai karbon panjang menjadi pendek. Selanjutnya, dilakukan proses pemecahan ikatan kabron yang kompleks sehingga unsur hara lepas dari ikatan. Sementara tahap terakhir, yakni proses pengaktifan unsur hara agar bisa dimanfaatkan tanaman menjadi pupuk dengan aktivator.
Soal kontek sosial budaya petani, Saputra mengatakan penggunaan pupuk batubara sama dengan pupuk kimia yang ada saat ini. Karena itu, dipastikan tidak akan mengubah cara penggunaan pupuk oleh petani sehingga meminimalisasi masalah.
"Ini tidak mengubah kebiasaaan, hanya saja ketika aplikasi kita kurangi pupuk kimia 50-70 persen. Contoh pada tanaman padi, yang biasa 500 kg pupuk kimia, kini bisa menjadi 100 kg urea, 100 kg NPK, dan 300 kg pupuk batubara," ujarnya.