REPUBLIKA.CO.ID, oleh Zainur Mahsir Ramadhan, Rizky Suryarandika, Antara
Lockdown akibat Covid-19 bak dua sisi pisau bagi masyarakat. Di satu masyarakat membutuhkan lockdown agar laju kasus bisa ditekan. Di sisi lain, masyarakat merana akibat lockdown karena kehidupan perekonomiannya terganggu.
Ketua Satgas Covid-19 IDI, Prof Zubairi Djoerban, menegaskan bukti ilmiah menunjukkan jika lockdown atau Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) berhasil mengurangi penularan wabah. Upaya lockdown menurutnya telah dibuktikan oleh China dan beberapa negara lainnya.
‘’Jadi tidak benar jika lockdown tidak bermanfaat. Justru sangat bermanfaat untuk kesehatan masyarakat,’’ ujar dia kepada Republika.co.id, Senin (12/10).
Ketika ditanya studi kasus negara-negara Eropa seperti Inggris, Spanyol dan Prancis yang gagal melakukan lockdown, ia tak menampiknya. Namun, dia menegaskan, jika hal itu dikarenakan keterlambatan dan tidak sesuainya penanganan.
‘’Sama seperti di Indonesia, kendala dalam pelaksanaan di Eropa sana juga karena human behavior yang mengacau. Di manapun juga sebenarnya pasti begitu,’’ tambahnya.
Di Spanyol, lanjutnya, sempat ada kerjasama ekonomi besar-besaran dengan China sehingga aktivitas pertukaran orang sangat kentara. Namun, alih-alih dari melakukan pembatasan ketat di awal, warga setempat memilih untuk berkendara ke negara-negara sekitar dan menyebabkan klaster-klaster baru.
Hal serupa juga sama dengan di Amerika, yang disebutnya terlambat jauh dalam penanganan. Amerika disebutnya merasa kaya dan kebal Covid-19.
‘’Dan terbukti juga di Indonesia, walaupun masih tanggung. Karena keluar masuk Jakarta masih bisa, meskipun setidaknya itu membantu dalam menekan lonjakan kasus,’’ tambah dia.
Pendapat dokter WHO yang menyatakan lockdown tidak bermanfaat adalah pernyataan yang tidak berdasar menurutnya. Lockdown atau PSBB dan pembatasan lainnya yang diklaim bisa merusak mental dan kesehatan masyarakat, juga dinilainya tidak benar.
‘’Tidak, karena penyesuaian manusia itu memang baik. Jadi walaupun diklaim begitu, efek samping dilakukannya PSBB dan tanpa PSBB atau lockdown, risikonya lebih rendah jika tidak diberlakukan sama sekali,’’ ungkap dia.
Ahli Epidemiologi dan Kesehatan Masyarakat UI, dr Pandu Riono, juga menampik pendapat yang menyebut jika lockdown atau PSBB tak bermanfaat. Menurut dr Pandu, penguncian atau pembatasan saat wabah merebak, sangat efektif untuk menekan penambahan kasus, sehingga tak memperburuk keadaan.
‘’Staf WHO itu memikirkan apa yang kita pikirkan juga, sebenarnya. Supaya lockdown jangan dipikirkan sebagai satu-satunya cara untuk menekan penularan. Tidak bukan itu, itu (lockdown) cara sementara,’’ ujar dia.
Lanjutnya, penguncian atau pembatasan adalah salah satu cara sementara ketika kasus penularan masih tinggi. Sehingga dalam pelaksanaannya, lockdown ataupun PSBB di Indonesia memang tidak seharusnya terlalu lama dilakukan. ‘’Dan memang seharusnya seperti itu,’’ tambah dia.
Namun demikian, ia menilai jika memang masih banyak negara saat ini yang tidak memahami konsep dari lockdown atau pembatasan-pembatasan lainnya. Penyebaran wabah dinilainya akan efektif, jika tujuan menekan kasus penularan bisa ditekan sedemikian rupa, khususnya melalui lockdown atau pembatasan lainnya.
Sebagai bagian dari aturan International Health Regulation, lockdown katanya, juga memang harus dilakukan secara efektif. Sebelum akhirnya ada pelonggaran-pelonggaran yang dibutuhkan untuk kepentingan sektor lainnya.
‘’Dan intinya WHO itu sama saja, tidak ada pernyataan yang berubah. Pernyataan dari dokter WHO itu, Dr David Nabarro, tidak mengambil statement resmi WHO, dan pernyataanya salah ditangkap oleh penulis yang menyatakan lockdown tidak bermanfaat,’’ kata dia.
Dokter Pandu menegaskan, lockdown dan PSBB adalah salah satu keadaan darurat yang harus dilakukan pemerintah suatu negara. Khususnya, jika penularan wabah sulit dikendalikan.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) juga tak berencana mengubah kebijakan PSBB. Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes Achmad Yurianto menyatakan sekarang bukan waktunya mendebatkan kebijakan yang sudah diputuskan pemerintah. Menurutnya, saat ini lebih penting agar masyarakat menerapkannya secara maksimal.
"Sekarang bukan saatnya mendebatkan kebijakan, tapi implementasi kebijakan. Kita sejak awal tidak memilih lockdown," kata pria yang akrab disapa Yuri.
Yuri menyampaikan penerapan PSBB masih dibutuhkan di Indonesia untuk mencegah penularan Covid-19. "Salah besar (mencabut PSBB). Justru tepat wajib pakai masker, jaga jarak, cuci tangan dan batasi aktivitas," sebut Yuri.
Yuri menekankan faktor pembawa Covid-19 ialah manusia. Sehingga menurutnya yang harus dilakukan ialah disiplin menjalankan protokol kesehatan sekaligus membatasi kegiatan.
"PSBB adalah langkah membatasi dan merupakan penguatan disiplin protokol kesehatan," ujar Yuri.
Polemik lockdown tepat atau tidak bergulir dari Utusan Khusus Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Urusan Pandemi Covid-19, dr David Nabarro. Ia mengatakan WHO tidak menganjurkan karantina wilayah atau lockdown sebagai jalan utama untuk mengendalikan wabah.
"Kami meminta kepada semua pemimpin dunia untuk berhenti menggunakan lockdown sebagai metode utama pengendalian (wabah). Kembangkan sistem yang lebih baik untuk hal ini," kata Nabarro dalam sebuah wawancara dengan The Spectator, media yang berbasis di Inggris.
Nabarro mengkritisi langkah lockdown dalam kaitannya dengan dampak kesulitan ekonomi dan kemiskinan secara global. Ia mengambil contoh sektor pariwisata, seperti di Karibia atau wilayah Pasifik yang terpukul karena tidak ada turis.
"Lihatlah yang terjadi dengan tingkat kemiskinan, tampaknya kita akan mengalami angka kemiskinan dunia yang berlipat ganda pada tahun depan. Sesungguhnya ini adalah malapetaka global yang mengerikan," ujar dia.
"Lockdown hanya memberikan satu konsekuensi yang tidak boleh diremehkan, yaitu membuat masyarakat miskin menjadi jauh lebih miskin," kata Nabarro menegaskan.
Menurutnya, karantina wilayah hanya dibenarkan untuk memberikan waktu kepada pemerintah agar dapat "mengatur, mengelompokkan, dan menyeimbangkan kembali sumber daya" untuk selanjutnya mengambil jalan tengah dalam penanganan pandemi.
Dalam sebuah artikel di 4sd.info, laman internet mengenai upaya pencapaian pembangunan berkelanjutan, Nabarro menyatakan bahwa kondisi saat ini memang menjadi tantangan yang rumit bagi para pemimpin negara. "Diperlukan suatu jalan tengah, karena terlalu banyak pembatasan akan merusak kehidupan masyarakat dan memancing kebencian, sementara virus yang dibiarkan menyebar akan menimbulkan banyak kematian," tulis Nabarro.
Jalan tengah itu, kata Nabarro, dapat diterapkan dengan tiga hal yang saling berkaitan. Yakni langkah pencegahan setiap saat, layanan tes-telusur-isolasi, serta kebijakan yang jelas dari para pengambil kebijakan.
Saat ini Juru Bicara Pemerintah Reisa Broto Asmoro mengatakan semakin banyak orang di Indonesia yang sembuh atau selesai menjalani isolasi Covid-19. "Semakin banyak saudara-saudara kita yang tadinya dirawat kini telah sembuh dari Covid-19," ujar Reisa dalam konferensi pers.
Dia mengatakan dari total kasus aktif Indonesia yang saat ini berjumlah 66.262 kasus, sebanyak 3.492 kasus sudah selesai menjalani isolasi dan perawatan. Angka kesembuhan Covid-19 di Indonesia pun meningkat. Hingga hari ini sudah 258.519 kasus yang dinyatakan pulih kembali atau sembuh. Sementara sampai akhir pekan kemarin rata-rata angka kesembuhan di Indonesia naik menjadi 76,4 persen dibandingkan pekan sebelumnya 75,2 persen.
Hari ini dilaporkan kasus baru konfirmasi positif Covid-19 di Indonesia bertambah 3.267 kasus. Penambahan ini tergolong yang terendah selama beberapa pekan terakhir. Saat ini total kasus Covid-19 menjadi 336.716 kasus.
Penambahan kasus baru paling banyak pada Senin ini dilaporkan paling banyak di DKI Jakarta 1.211 kasus. Lalu Jawa Timur 296 kasus, Jawa Barat 286 kasus, Jawa Tengah 239 kasus, dan Riau 209 kasus.