REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ahli Epidemiologi dan Kesehatan Masyarakat UI, dr Pandu Riono, mengatakan pembatasan dan pelonggaran berkala DKI Jakarta merupakan langkah tepat. Menurutnya, langkah itu juga ditujukan agar RS tidak kewalahan menangani kasus Covid-19.
‘’Karena kita tidak mau ada orang yang butuh pelayanan kesehatan, tapi akhirnya tidak bisa dirawat,’’ ujar dia kepada Republika.co.id, Senin (12/10).
PSBB transisi jilid II kali ini, kata dr Pandu, juga terdiri pada beberapa fase, satu, dua dan tiga. Jika dalam dua pekan ke depan ada penurunan kasus di DKI, menurutnya bisa saja melonggarkan PSBB transisi ke fase dua.
‘’Tapi, kalau ada peningkatan, ya masuk lagi ke pengetatan PSBB,’’ tambah dia.
Dia menambahkan, pengetatan dalam PSBB, sebenarnya dilakukan untuk menekan kasus seminimal mungkin. Terlebih, ketika pengetatan itu kata dia, juga hanya bersifat sementara.
‘’Itu solusi sementara saja. Jadi jika PSBB diketatkan, ada evaluasi dua pekan, jika kasus landai maka tinggal melakukan pelacakan lagi,’’ katanya.
Sejauh ini Pemda DKI dinilainya juga telah melakukan surveilans dengan baik, terlebih dengan testing dan pelacakan yang semakin banyak. Walaupun, aktivitas kerja dan dan lainnya tidak seperti di awal yang mengharuskan semuanya dilakukan di rumah.
‘’Karena kita tahu pengetatan itu tidak boleh dilakukan terlalu lama. Itu merugikan semua pihak. Dan orang juga bosan kalau di rumah terus,’’ ucapnya. PSBB transisi kali ini, ia sebut juga sebagai momen pemulihan dari pengetatan PSBB di pekan sebelumnya.
Hal tersebut juga ditegaskan oleh epidemolog lainnya, dr Syahrizal Syarif. Namun ia merasa jika ada kebijakan baru di PSBB kali ini yang dirasa janggal. ‘’Utamanya reservasi dan pendataan karyawan atau pengunjung,’’ kata dia.
Dalam kebijakan baru itu, aktivitas luar ruangan yang memerlukan pendataan seperti makan di luar dan diharuskan reservasi, merupakan langkah yang baik. Namun, langkah baik itu hanya terjadi di negara yang telah siap melakukannya seperti Korea Selatan.
‘’Saya cuma mengingatkan itu cukup baik di Korsel. Di sana, didukung dengan teknologi komunikasi yang sangat baik,’’ tambah dia.
Bahkan, sudah ada aplikasi yang mendukungnya. Sehingga dalam aplikasi itu, pihak terkait bisa memantau kartu kredit dan melakukan pelacakan pada pergerakan orang.
Menurut dia, ada baiknya jika DKI Jakarta tidak mengeluarkan kebijakan terlebih dahulu. Alih-alih dari implementasi yang tidak nyata. Utamanya, kebijakan tanpa kesiapan teknologi informasi dan komunikasi yang memadai.
‘’Jangan asal kegiatannya mau beda dengan provinsi lain. Harus siap dulu,’’ ungkap dia.