REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Nusantara lebih memilih untuk menempuh jalur judicial review atau uji materi Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi. BEM Nusantara tak ingin ada klaster penularan Covid-19 akibat menggelar unjuk rasa.
"Hal ini lebih tepat dilakukan di tengah pandemi Covid-19. Semua pihak harus tetap mengikuti protokol kesehatan yang tidak membolehkan adanya perkumpulan lebih dari 50 orang serta menjaga jarak," kata Koordinator Pusat BEM Nusantara Hengky Primana dalam keterangan di Jakarta, Senin (12/10).
Hengky mengatakan bahwa pihaknya tidak ingin adanya klaster baru dalam penyebaran Covid-19. "Seperti yang kita tahu beredar kabar bahwa gedung DPR RI di tutup setelah mencuatnya kabar 18 anggota DPR RI terpapar Covid-19. Hal ini membuat aspirasi yang kita sampaikan nantinya ke gedung DPR RI menjadi percuma, karena tidak adanya pimpinan di dalam sana," ujar Hengky.
Menurutnya, ada 3 jalur untuk pembatalan Omnibus Law ini, yaitu legislatif review, judicial review dan Perppu. Dari ketiga pilihan itu, menurut dia, yang paling memungkinkan adalah menempuh judicial review.
"Karena DPR RI dan presiden pun sudah berkeras tidak akan melakukan legislatif review ataupun Perpu, dan Hasil JR ini nantinya akan memberikan keputusan mutlak yang tidak bisa diganggu gugat," ucapnya.
Hengky menegaskan bahwa BEM Nusantara tidak menolak secara keseluruhan, tapi ada beberapa poin dari Omnimbus Law yang harus di revisi lagi. "Tidak semua dari Omnibus Law itu buruk, tapi ada beberapa point yang harus di koreksi," jelas Hengky.
BEM Nusantara pun mengapresiasi kawan-kawan yang menempuh jalur lain, tetapi tetap mewaspadai setiap melakukan aksi unjuk rasa adanya "penumpang gelap"."Tetapi kita harus tetap mewaspadai penumpang penumpang gelap yang ikut dalam aksi murni kita dan saya menghimbau tetap jaga protokol kesehatan," katanya.