REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Undang-undang Cipta Kerja dikhawatirkan dapat mendorong terjadinya konversi lahan secara besar-besaran. Hal ini mengingat banyaknya kasus konflik agraria yang terjadi di lokasi Proyek Strategis Nasional berada, seperti pembangunan jalan tol, bandar udara, dan proyek-proyek lainnya.
Pasal 122 UU Cipta Kerja yang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (UU PLP2B), diubah menjadi: "Dalam hal untuk kepentingan umum dan/atau Proyek Strategis Nasional, Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dialihfungsikan, dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
Staf Ahli Menteri Pertanian bidang Bioindustri, Bambang, membantah bahwa pasal tersebut berarti pemerintah menyetujui alih fungsi lahan pertanian. "Ketentuan tentang hal ini juga akan diatur melalui peraturan pemerintah (PP) serta perundang-undangan lainnya," ujar Bambang kepada Republika.co.id, Senin (12/10).
Ia menjelaskan, alih fungsi lahan untuk proyek strategis nasional nantinya dapat disetujui setelah dilakukan kajian mendalam terhadap kelayakannya. Setiap alih fungsi lahan wajib menyiapkan lahan pengganti sebagaimana diatur dalam pasal 44 - 46 Undang-undang No. 41 Tahun 2009 yang tidak diubah.
Menurut Bambang, pemerintah sangat menyadari betapa pentingnya ketercukupan dan pengamanan lahan untuk menjamin ketersediaan pangan nasional. Food estate juga menjadi salah satu Proyek Strategis Nasional untuk mengeliminasi terjadinya resiko alih fungsi lahan belakangan ini.
"Artinya bahwa kemungkinan alih fungsi lahan akibat proyek strategis nasional belum terjadipun pemerintah sudah berupaya memperluas lahan pertanian melalui beberapa food estate yang akan dibangun," kata Bambang.Selain di Kalimantan Tengah dan Humbang Hasundutan, Sumatra Utara, food estate juga akan dikembangkan di NTT, Maluku Utara dan Papua.