Selasa 13 Oct 2020 13:00 WIB

Brain Fog Usik Penyintas Covid-19, Apa Pula Itu?

Penyintas Covid-19 khawatir brain fog akan menetap.

Rep: Puti Almas/ Red: Reiny Dwinanda
Brain fog (Ilustrasi). Penyintas Covid-19 terkadang mengalami kesulitan yang berkepanjangan dalam konsentrasi, sakit kepala, kecemasan, kelelahan, atau gangguan tidur. Kondisi ini disebut juga sebagai brain fog.
Foto: Pixabay
Brain fog (Ilustrasi). Penyintas Covid-19 terkadang mengalami kesulitan yang berkepanjangan dalam konsentrasi, sakit kepala, kecemasan, kelelahan, atau gangguan tidur. Kondisi ini disebut juga sebagai brain fog.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah studi terbaru menunjukkan bahwa orang-orang yang pulih dari infeksi virus corona jenis baru (Covid-19) mungkin bisa mengalami gejala neurologis seperti brain fog karena gangguan stres pasca-trauma (PTSD).

Brain fog dapat diartikan sebagai kelelahan mental. Ketika mengalaminya, orang menjadi sulit konsentrasi, sulit berpikir, dan mudah lupa. Misalnya, ketika sedang menceritakan sesuatu, orang bisa tiba-tiba blank, tak tahu apa hal penting yang hendak disampaikan selanjutnya.

Baca Juga

Dilansir Ani News, orang-orang yang telah pulih dari Covid-19 terkadang mengalami kesulitan yang berkepanjangan dalam konsentrasi, sakit kepala, kecemasan, kelelahan, atau gangguan tidur. Tak jarang, mereka khawatir bahwa infeksi virus telah merusak otak mereka secara permanen.

Namun, para peneliti mengatakan, belum tentu demikian. Dalam studi yang  ditulis bersama oleh profesor klinis dan ahli saraf Andrew Levine dari David Geffen School of Medicine di UCLA, dan mahasiswa pascasarjana Erin Kaseda dari Rosalind Franklin University of Medicine and Science, di Chicago, Amerika Serikat (AS) mengeksplorasi data historis tentang orang yang selamat dari virus corona sebelumnya, yang menyebabkan sindrom pernapasan akut parah (SARS) dan sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS).

"Idenya adalah untuk meningkatkan kesadaran di antara neuropsikolog bahwa PTSD adalah sesuatu yang mungkin ingin Anda pertimbangkan ketika mengevaluasi kesulitan kognitif dan emosional yang terus-menerus di antara para penyintas Covid-19," ujar Levine dalam makalah studi yang diterbitkan di The Clinical Neuropsychologist.

Levine mengatakan, ketika melihat seseorang menjalani tes neuropsikologis, diharapkan bahwa itu akan menjadi yang terbaik secara relatif. Jika para peneliti mengidentifikasi penyakit kejiwaan selama evaluasi dan diyakini bahwa gejala kondisi itu menganggu kemampuan untuk melakukan yang terbaik, maka lebih bank kondisi tersebut diobati terlebih dahulu, kemudian mengujinya kembali.

Jika gejalanya disebabkan karena kondisi kejiwaan, seperti PTSD, pengobatan akan membantu mengelola gejala tersebut. Ini sekaligus akan memberikan pandangan yang lebih jelas tentang masalah otak yang mendasarinya.

"Begitu mereka mendapat pengobatan, dan mudah-mudahan gejala kejiwaannya berkurang, jika keluhan kognitif dan defisit pada tes neuropsikologis masih ada, maka itu lebih banyak bukti bahwa ada sesuatu yang lain yang sedang terjadi," jelas Kaseda.

Kaseda juga mengatakan akan menjadi penting bagi para dokter di seluruh dunia untuk mengikuti literatur, sekaligus memastikan mereka memiliki informasi paling mutakhir karena para penyintas ini mulai hadir untuk pengujian neuropsikologis. Ia mengungkapkan mulai mengajukan pertanyaan ini berdasarkan pengalamannya menangani pasien dengan cedera otak traumatis ringan, seperti gegar otak.

"Ketika gejala ini bertahan selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun setelah cedera asli, kemungkinan besar itu disebabkan oleh adanya gangguan kejiwaan," kata Kaseda.

Sebuah tinjauan data dari wabah SARS dan MERS menunjukkan bahwa para penyintas tersebut memiliki risiko tinggi untuk PTSD. Dalam kasus Covid-19, gejala PTSD dapat muncul sebagai tanggapan atas tindakan invasif yang diperlukan untuk merawat pasien, termasuk intubasi dan ventilasi, yang dapat menimbulkan trauma bagi pasien yang ketakutan.

Di lain waktu, delirium menyebabkan pasien dengan Covid-19 menderita halusinasi, dan ingatan akan sensasi mengerikan ini terus mengganggu pasien yang sudah sembuh. Selain pasien yang dirawat di rumah sakit, penyedia layanan kesehatan garis depan juga dapat terpengaruh karena stres dan ketakutan yang terus-menerus mereka hadapi, seperti di tempat bekerja.

Bagi sebagian orang, kecemasan saat pandemi, rasa terisolasi dari orang-orang yang dicintai, hingga berusaha  melawan rasa takut terus-menerus terhadap ancaman yang tidak terlihat dapat memberikan pukulan serupa pada kemampuan berpikir dan ingatan manusia. Meski diagnosis PTSD terdengar sebagai kabar buruk, ada banyak perawatan yang tersedia untuk mengatasi kondisi ini.

Orang yang mengalami PTSD dapat dibantu dengan menjalani psikoterapi dan pengobatan medis. Sebagai perbandingan, para peneliti masih bekerja untuk memahami efek neurologis langsung Covid-19.

Kaseda mengatakan, pilihan pengobatan untuk Covid-19 masih menjadi jalan keluar, karena situasi saat ini masih berkembang. Ia juga menuturkan bahwa hingga memiliki data tersebut, maka akan sangat sulit untuk mengatakan berapa persentase sebenarnya dari pasien yang akan mengalami keluhan kognitif karena efek langsung dari virus, karena intervensi medis, atau karena masalah kejiwaan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement