REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perbankan syariah dapat lebih leluasa menarik dana asing dengan adanya UU Omnibus Law Cipta Kerja. Sejumlah pasal terkait kepemilikan bank syariah direvisi dalam UU yang jumlah halamannya terus berubah-ubah tersebut.
Dalam UU versi 908 halaman, tercatat di pasal 79 terkait Perbankan Syariah tentang ketentuan kepemilikan dan pendirian Bank Umum Syariah. BUS dapat didirikan atau dimiliki oleh badan hukum asing secara kemitraan tanpa mengharuskan dimiliki juga oleh warga negara Indonesia maupun badan hukum Indonesia. Dapat pula bermakna pemiliknya berupa campuran ketiga jenis pemegang saham, yakni WNI, badan hukum, pemda, juga badan hukum asing.
Di UU sebelumnya, yakni Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, pihak-pihak yang mendirikan bank syariah harus dimiliki juga oleh warga negara Indonesia. Artinya, kesempatan bagi dana asing masuk ke bank syariah semakin lebar dan mudah.
Bank syariah memang menjadi potensi yang menarik, tak hanya bagi investor Indonesia tapi juga asing. Mengingat Indonesia adalah negara dengan jumlah Muslim terbesar di dunia dan potensi berkembangnya yang masih sangat luas.
Belum lagi pemerintah punya ambisi sangat besar untuk meraup investasi ke dalam negeri, sesuai tujuan dari dibuatnya Omnibus Law. Sementara itu, kepemilikan modal bank hasil merger ini masih menjadi misteri.
Mengingat Indonesia belum memiliki bank BUMN Syariah yang sahamnya dimiliki BUMN dan pemerintah. Salah satu bank syariah yang akan dimerger juga merupakan perusahaan publik yakni BRI Syariah
Pengamat Ekonomi Syariah Azis Setiawan menyampaikan Omnibus Law membahas beberapa hal terkait bank syariah. Seperti terkait perizinan di otoritas, juga kepemilikan dan pendirian bank syariah, baik Bank Umum Syariah maupun Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
"Terkait kepemilikan juga nanti akan jadi tantangan tersendiri, sepertinya pemerintah membuka arahnya lebih luas untuk permodalan, penanaman modal asing," katanya pada Republika, Selasa (13/10).
Dampaknya bagi investor asing akan lebih mudah masuk ke industri perbankan syariah domestik. Ia merujuk juga pada ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) yang merupakan perjanjian terbukanya pasar dan kolaborasi sesama anggota di wilayah.
Dengan perjanjian ini, kolaborasi antar negara bisa lebih mudah. Namun, menurut Azis, selama ini Indonesia kurang bisa memanfaatkan perjanjian tersebut karena kurangnya daya saing industri. Sehingga Indonesia mayoritas hanya bisa 'menerima'.
Dengan adanya Omnibus Law maka aliran penerimaan itu bisa semakin deras. Satu sisi ini menjadi keuntungan karena penerimaan investasi, tapi juga kompetisi bagi industri dalam negeri akan semakin ketat. Indonesia pun dinilai perlu memanfaatkannya untuk ekspansi keluar wilayah.
Kesempatan untuk masuk industri perbankan syariah Indonesia pun sangat menggiurkan bagi bank-bank syariah besar di luar negeri. Secara kapasitas, industri bank syariah seperti di Timur Tengah telah jauh lebih matang sehingga bisa ekspansi ke berbagai wilayah, termasuk Indonesia.
Ditambah lagi baru-baru ini, tren merger dan akuisisi bank syariah di luar negeri pun semakin ramai sehingga meningkatkan skala bisnis mereka lebih besar lagi. Misalnya di Arab Saudi, merger antara National Commercial Bank (NBC) dan Samba Financial Group akan jadi fenomenal karena bisa menggeser posisi Al Rajhi.
Merger NCB dengan Samba akan melahirkan bank syariah dengan aset terbesar yakni 222,83 miliar dolar AS atau sekitar Rp 3.283 triliun. Untuk diketahui, aset seluruh perbankan syariah di Indonesia dari Sabang sampai Merauke adalah Rp 545,39 triliun.