Selasa 13 Oct 2020 12:21 WIB

Rasio Utang Indonesia Naik, Ekonom: Pengelolaan Utang Buruk

Rasio utang luar negeri Indonesia menjadi salah satu yang tertinggi di dunia.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Layar monitor menunjukan pergerakan grafik surat utang negara di Delaing Room Treasury (ilustrasi).
Foto: Republika/Wihdan
Layar monitor menunjukan pergerakan grafik surat utang negara di Delaing Room Treasury (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Rasio utang luar negeri Indonesia terhadap Pendapatan Nasional Bruto (Gross National Income/ GNI) pada tahun lalu menjadi salah satu tertinggi dibandingkan negara setingkat (peer country). Bahkan, rasionya lebih tinggi dibandingkan negara yang memiliki nominal utang internasional lebih banyak dari Indonesia.

Data tersebut dipublikasikan Bank Dunia dalam laporan Statistik Utang Internasional (IDS) terbarunya yang dirilis pada Senin (12/10).

Baca Juga

Dalam laporan itu, terlihat utang luar negeri Indonesia pada 2019 mencapai 402,08 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 5.900 triliun dengan kurs Rp 14.732 per dolar AS. Rasionya dibandingkan GNI mencapai 37 persen, setara dengan level 2018. Rasio ini sempat turun pada 2016 dan 2017, yaitu pada tingkat 35 dan 36 persen, namun kembali naik di tahun berikutnya.

Beberapa negara setingkat Indonesia menunjukkan rasio terhadap GNI yang lebih rendah. Sebut saja India yang sama-sama masuk dalam kategori negara berpendapatan menengah (middle income country), memiliki rasio utang luar negeri terhadap GNI pada level 20 persen dengan nominal 560 miliar dolar AS.

Brasil dengan utang luar negeri terbanyak pada 2019 menurut Bank Dunia juga memiliki rasio lebih rendah. Secara nominal, utangnya mencapai 569,3 miliar dolar AS dengan rasio 32 persen terhadap GNI.

Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Nailul Huda menyebutkan, tingginya rasio terhadap GNI patut menjadi perhatian bagi pemerintah. "Indikator ini menunjukkan kemampuan membayar utang Indonesia yang memburuk," ujarnya ketika dihubungi Republika, Selasa (13/10).

Nailul menyebutkan, rasio tersebut kemungkinan akan naik pada tahun ini dan beberapa tahun mendatang mengingat tekanan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Belanja pemerintah dipastikan meningkat yang diiringi dengan penyusutan penerimaan. Jalan keluar untuk permasalahan ini adalah mencari utang.

Tapi, Nailul mengingatkan, utang itu harus dilakukan secara penuh kehati-hatian. "Artinya, utang yang didapatkan jangan sampai melebihi peraturan yang ada," ucapnya.

Nailul merujuk pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang memperbolehkan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sampai level 60 persen. Meski indikatornya berbeda dengan Bank Dunia yang memakai GNI, batasan maksimal tersebut relatif sama.

Pengelolaan utang juga harus ditujukan untuk keperluan yang penting. Pembangunan jalan tol, bandara atau pelabuhan dengan menggunakan dana dari utang sebaiknya tidak dilakukan pada saat ini. "Ekonomi sedang tidak baik, pembangunan itu justru akan menghasilkan sesuatu yang sia-sia," ujarnya.

Di sisi lain, Nailul menganjurkan pemerintah untuk mengoptimalkan penghematan anggaran terlebih dahulu. Kunjungan kerja, rapat dinas di daerah maupun hotel yang membutuhkan biaya besar sebaiknya ditunda dan dialihkan ke penanganan pandemi Covid-19.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement