REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Bari Arijono, Executive Chairman Digital Banking Institute
[email protected], www.digitalbanking.id
Inilah judul bincang buku Bank 4.0 Karya Brett King yang telah diterjemahkan kedalam bahasa indonesia oleh Bari Arijono sebagai pemegang lisensi, Founder & CEO Digital Enterprise Indonesia. Acara ini diselenggarakan oleh Republika pada hari Rabu 30 September 2020, dalam rangkaian agenda Pameran Virtual Indonesia International Book Fair 2020 yang diipandu oleh Senior Editor Buku Republika, Iqbal Santosa dalam kesempatan live di Instagram dan Youtube channel.
Pertanyaan yang cukup mengelitik di masa pandemi, di mana kita masih harus belajar, beribadah dan bekerja dari rumah. Semua mendadak jadi digital, sekolah online, bekerja dari rumah (WFH), Sholat Jumat online, belanja online hingga bayar-bayar juga harus online. Wajar jika penguna internet meningkat tajam, kebutuhan perangkat daring juga laris manis dari handphone murah hingga laptop bekas. Bank pun tak mau ketinggalan, rame-rame membuat digital banking, karena memang nasabah sudah tidak bisa lagi ke kantor cabang di tengah masa PSBB.
Alternatif pembayaran digital pun marak di Tanah Air, dompet digital hingga fintech yang berlomba-lomba menawarkan pinjaman online. Penguna jasa fintech cepat sekali tumbuh seiring dengan gagalnya layanan perbankan yang masih dianggap ribet dan tidak luwes. Akankah perbankan bisa survive ditengah gempuran perusahaan teknologi yang memberikan layanan keuangan sejenis? Sebagaimana perusahaan raksasa Google, Apple, Facebook, Amazon, Alibaba dan Microsoft yang saat ini memiliki layanan sejenis perbankan.
Prediksi Brett King dalam Buku BANK 4.0 bahwa ke depan bank terbesar di dunia adalah perusahaan teknologi, bukan bank itu sendiri, dan bisa jadi Ant Financial. Menarik bukan? Lantas bagaimana nasib bank-bank besar dunia yang sudah ratusan tahun berdiri? Apakah mereka akan jadi artefak?
Mungkin 30 tahun kedepan kita akan melihat banyak museum bank di Indonesia, sebagaimana yang sudah kita lihat di kota tua ada museum Bank Indonesia dan Bank Mandiri. Nah, diskusi menarik ini kami abadikan dalam tulisan ini.
Lima puluh tahun lalu, regulasi lama mengatakan kantor cabang bank merupakan sarana utama untuk inklusi keuangan. Namun, pada tahun 2008 dan setelah lebih dari 100 tahun pertumbuhan cabang bank yang luar biasa, inklusi keuangan masih belum ada separuh penduduk di planet ini. Pada 2011, hanya 51 persen dari populasi dunia yang memiliki rekening bank.
Di negara-negara dengan kepadatan kantor cabang bank tertinggi di dunia seperti Spanyol, Prancis, dan Amerika Serikat, inklusi keuangan telah terhenti beberapa dekade yang lalu dan tidak mengalami peningkatan yang signifikan. Di negara berkembang seperti sub-Sahara Afrika, pernah dicoba untuk meningkatkan jumlah bankable harus dilakukan di kantor cabang, tetapi tidak pernah berhasil.
Penelitian pada 2016 dari Accenture dan Standard Bank menunjukkan 70 persen dari mereka yang saat ini tidak memiliki rekening bank di benua Afrika, telah menghabiskan lebih dari gaji sebulan penuh hanya untuk secara fisik datang ke kantor cabang bank yang tersedia. Yang ternyata mereka tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan rekening bank begitu mereka tiba di sana. Hem... bank tidak bisa menjawab tantangan ini.
Di India, dari awal 2000-an, Bank Sentral India (Reserved Bank) memaksa Bank India yang sedang berkembang untuk menyebarkan 25 persen atau seperempat cabang baru mereka di lokasi pedesaan di mana banyak masyarakat tidak memiliki rekening bank.
Asumsi sederhana bahwa bankable bisa diselesaikan dengan lebih banyak cabang. Dalam pidatonya, Shri P. Vijaya Bhaskar, Direktur Eksekutif, Reserve Bank of India, pada 10 Desember 2009 lalu, ia memperkuat keyakinan, "Bank diarahkan untuk mengalokasikan setidaknya 25 persen dari jumlah total cabang yang akan dibuka sepanjang tahun di pusat pedesaan yang tidak memiliki rekening bank (Tier 5 dan Tier 6)".
Namun pada tahun yang sama, India juga telah secara mandiri membentuk Unique Identification Authority of India (UIDAI), dengan tujuan untuk memberikan dampak yang lebih signifikan terhadap program inklusi keuangan nasional. Bahkan setelah satu dekade program tersebut berjalan, progresnya hampir tidak bergerak sama sekali. Mengapa? Ketika warga berpenghasilan rendah memasuki cabang yang baru didirikan di lokasi pedesaan ini, mereka tidak memenuhi syarat untuk membuka akun -mereka tidak memiliki dokumen identitas yang diperlukan. Bank telah gagal memenuhi hajat hidup orang banyak.
Mulai 2014, dengan dukungan dari Presiden Modi yang masuk, kartu identitas nasional (e-KTP) yang dikenal sebagai Aadhaar akhirnya diluncurkan. Kartu Aadhaar adalah anugerah bagi inklusi keuangan — itu mengubah permainan. Pada 2018, lebih dari 1,2 miliar warga telah terdaftar dalam program kartu Aadhaar dan termasuk di dalamnya akses ke rekening bank. Lebih dari 88 persen populasi India mendapatkan dokumen identitas digital pertama mereka, termasuk lebih dari 800 juta orang bankable untuk pertama kalinya dalam sejarah India.
Segmen populasi India yang paling tidak memiiki akses dalam sistem perbankan lama —rumah tangga berpenghasilan rendah dan wanita— mengalami pertumbuhan 100 persen setiap tahun sejak inisiatif kartu Aadhaar diluncurkan. Pada 2015, lebih dari 358 juta wanita India (61 persen) memiliki rekening bank pertama mereka, naik dari 281 juta (48 persen) pada tahun 2014. Ini adalah lompatan tunggal terbesar bagi wanita yang “memiliki rekening bank” di antara delapan negara Asia Selatan dan Afrika dalam sejarah.
Bukan karena cabang, tapi karena reformasi identitas. Revolusi Keuangan India tidak terjadi di Bank.