REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Grup Takeda Pharmaceutical, yang mengembangkan obat Covid-19 dari plasma darah, mulai melakukan produksi sambil menunggu hasil uji klinis tahap tiga yang menentukan keampuhan obat tersebut.
CEO Takeda Christophe Weber menyampaikan, grup perusahaan CoVIg Plasma Alliance mendaftarkan pasien pertamanya dalam uji klinis tahap tiga pada Jumat (9/10) setelah tertunda selama berbulan-bulan. Pihaknya berencana mendaftarkan 500 pasien dewasa dari Amerika Serikat, Meksiko, serta 16 negara lainnya.
"Kami berharap mendapatkan hasilnya akhir tahun ini. Peluang untuk berhasil sangat tinggi," kata Weber dilansir Reuters.
Itulah alasan Takeda meluncurkan kampanye agar mempercepat donasi plasma konvalesen untuk membuat sekaligus memproduksi produk ini.
Aliansi, yang terdiri atas CSL Behring, Biotest AG Jerman dan perusahaan lainnya, sedang menguji terapi globulin hiperimun yang berasal dari plasma darah pasien sembuh Covid-19. Terapi globulin hiperimun menghasilkan dosis antibodi standar dan tidak perlu dibatasi pada pasien dengan kecocokan jenis darah.
Hal itu membuatnya lebih berkembang dan mudah ketimbang pengobatan dengan plasma konvalesen yang diambil dari pasien sembuh.
Menurut Weber, pengobatan tersebut bisa saja sedikit lebih mahal dibandingkan obat antibodi monoklonal seperti yang dikembangkan Regeneron Pharmaceuticals dan Eli Lilly and Co. "Aliansi tidak bermaksud mengambil keuntungan dari pengobatan tersebut," kata Weber.
Ia mengaku tidak mengetahui jumlah dosis obat yang mampu dihasilkan oleh grup tersebut pada akhir tahun ini. Sebab hal itu tergantung donasi serta ukuran dosis yang mereka tetapkan dalam uji klinis.
Uji klinis tersebut akan menguji terapi globulin hiperimun yang digabungkan dengan obat antivirus remdesivir milik Gilead Sciences dibandingkan dengan pasien yang mengonsumsi remdesivir saja.